Cerita Coklat, Theobroma cacao Indonesia

Kakao Indonesia



Apa itu Coklat atau Kakao?

Tanaman Kakao atau Theobroma cacao Linnaeus adalah tanaman yang berasal dari Sungai Amazon di wilayah Amerika Selatan sesuai yang disampaikan Murray dan tanaman ini dikembangkan oleh suku Indoan di Meksiko sesuai yang ditelusuri oleh Van Hall dan ditulis tahun 1914.

Perkebunan Kakao, Theobroma cacao
Nama Theobroma diberikan oleh ahli taksonomi yang dikenal dengan Binomial Nomenklatur, Linnaeus.  Theobroma berarti makanan para dewa, mengacu pada mitologi suku Indian Meksiko.

Tanaman Kakao kemudian tersebar luas ke berbagai daerah di belahan dunia yang awalnya dibawa oleh orang orang Spanyoll pada abad ke- 16 untuk tujuan pengembangan secara komersial.

Pengalaman Berkebun Agroforestry Acacia mangium - Akasia dan Theobroma cacao - Coklat di Kalimantan Barat
Tanaman Kakao yang dikomersialkan adalah Speses Theobroma cacao L, yang merupakan satu diantara 22 spesies dalam genus Theobroma.

Klasifikasi Taksonomi Kakao adalah
Divisi        : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae       
Kelas        : Dicotyledoneae
Sub Kelas : Dialypetalae
Ordo        : Malvales
Famili       : Sterculiaceae
Genus      : Theobroma
Spesies    : Theobroma cacao. 

Biji kakao diperoleh dari Buah Kakao matang yang sudah melewati proses panen buah kakao, Sortasi Buah Kakao, Pemecahan buah, Fermentasi, Pengeringan, Sortasi biji, pengemasan dan Penggudangan.

Aneka jenis buah kakao - Cocoa Theobroma cacao
Biji Kakao yang sudah kering, selanjutnya diolah dengan cara Disangray, Dipisahkan kulit dan keping bijji, kemudian dilakukan Pemastaan.

Untuk yang akan dibuat bubuk coklat, dilanjutkan dengan pengovenan, Pengempaan, dan saat menjadi bungkil dilakukan tempering, kemudian pembubukan, pengayaan dan berikutnya pengemasan bubuk Coklat dan siap dikirim ke konsumen.

Untuk yang akan dijadikan coklat batangan, setelah pemastaan dilakukan mixer formula, kemudian masuk mesin Ball Mill, Selanjutnya Choncing, ditempering, berikutnta dilakukan pemcetakan dan selanjutnya pengemasan dan siap dinikmati konsumen. 
Buah Kakao matang yang memiliki plasenta yang enak dimakan  tetapi juga susah dilepaskan

Jadi kalau masih belum diolah, atau biji coklat mentah, seringnya disebut biji Coklat atau Biji Cacao dan kalau sudah akan dnikmati disebut Coklat atau Cocoa.

Baca juga artikel : 

Kedatangan Bangsa Eropa dan Kakao Indonesia  

Kendati tanaman Kakao bukan merupakan tanaman asli Indonesia, tetapi tanaman yang aslinya berasal dari Hutan Amazon ini sudah lebih dua abad masuk dan berkembang di  wilayah Nusantara.

Sejarah Kakao di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari datangnya bangsa bangsa Eropa ke Kepulauan Nusantara. 

Setelah perjanjian Thordesillas sekitar tahun 1492, pelaut pelaut Portugis dibawah pimpinan Bartholomeus Diaz mencoba mencari jalan keluar menemukan dunia timur yang menjadi pusat rempah rempah.  Namun Pelayaran Bartholomeus Diaz hanya sampai di ujung Afrika Selatan pada sekitar tahun 1496. Hal ini disebabkan oleh besarnya gelombang ombak samudera Hindia, sehingga kapal kapal yang dibawa oleh Bartholomeus Diaz tidak berhasil melewatinya dan temuan Sang Pelayar Portugis ini dinamakan Tanjung Pengharapan, Cape of Good Hope atau saat ini lebih dikenal sebagai Tanjung Harapan.  

Theobroma cacao, tanaman dari Hutan Amazon yang ditanam di Kalimantan Barat 
Pada tahun 1948, Raja Portugis mengirim ekspedisinya di bawah pimpinan Vasco da gama dan berhasil mendarat di Kalkuta India pada tahun itu juga, 1948.  Kemudian pada tahun 1511 dari India bangsa Portugis mengirim ekspedisinya di bawah Alfonso d'Alburquerque mengikuti perjalanan para pedagang Isalam. pada tahun 1511 itu juga Portugis berhasil menduduki Malaka dan kemudian Portugis tiba di Ternate Maluku pada tahun 1512.  Luar Biasa ekspedisi mereka dalam mencari sumber daya alam rempah rempah.  Bukan padi atau singkong lho, tapi Rempah Rempah.

Para Pelaut dan pedagang bangsa Belanda, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman memulai pelayaran dan pada tahun 1596 tiba di Banten, Indonesia. Dari Bandar Banten, sekarang Pelabuhan Provinsi Banten, di sebelah barat Jakarta pada pelaut Belanda melanjutkan pelayarannya ke arah timur dan berhasil membawa rempah rempah dalam jumlah sangat banyak.

Perkebunan Coklat, Theobroma cacao
Nah, saat itulah Portugis dan Belanda bersaing memperebutkan rempah rempah ini.  Belanda membentuk Badan Usaha Kongsi Dagang yang diberi nama VOC, Vereenigde Oost Indische Compagnie yaitu persekutuan Dagang Hindia Timur. VOC berdiri tahun 1602 yang juga lebih sering disebut oleh bangsa Indonesia dengan sebutan Kompeni Belanda dan Belanda inilah yang kemudian mengembangkan sejumlah tanaman penyegar di Nusantara, termasuk di dalamnya Kakao.

Pelabuhan Sunda Kelapa atau Pelabuhan Jayakarta  yang masih aktif hingga saat ini.
Saya menyempatkan berkunjung ke Pelabuhan Jayakarta yang dulunya adalah pelabuhan yang sering menjadi bongkar muat VOC, serta ke Museum Bahari yang dulunya adalah Gudang rempah rempah hasil pengumpulan dari Indonesia Timur.  

Kantor VOC yang masih tegak berditri menjadi saksi bisu perdagangan hasil bumi Indonesia 

Kapan Kakao Masuk Indonesia? 

Tanaman Kakao pertama yang masuk ke Indonesia atau Nusantaradiperkirakan dibawa oleh orang Spanyol pada tahun 1560 yaitu ke Pulau Sulawesi.  Jenis kakao yang masuk pertama ke Indonesia adalah Criollo Venezuela yang diimpor dari Philippina.  Selanjutnya hingga akhir abad ke-18 kakao dibudidayakan di daerah Minahasa.

Gudang tempat pemyimpanan Hasil Bumi ex VOC termasuk Coklat di Museum Bahari

Untuk pertama kali adanya laporan mengenai Kakao di Indonesia yakni pada saat ada pertemuan komunitas seni dan ilmuwan Batavia yang akan memberikan penghargaan kepada orang yang pertama kali secara sukarela menanam dan mengembangkan tanaman kakao di kebunnya minimum 50 pohon dan ini merupakan salah satu upaya Belanda untuk mendorong dan meningkatkan produksi pertanian dan industrinya.

Benih Kakao atau Benih Coklat yang siap disemai

Setahun kemudian medali perak diberikan kepada D. Duvau de Lalongue, salah seorang dari komunitas tersebut yang telah menanam pohon kakao di sebagian kebun tebunya yang belum ada tanamannya di Salapanjang atau sekarang Jakarta, sepanjang Sungai Tsidani atau sekarang Cisadane.  Sayangnya tidak ada informasi dan laporan yang menyebutkan asal bahan tanaman yang diperoleh Pak Duvau De Lalongue.  Hal ini terkait  dengan mengingat jarak, tidak mungkin benih kakao tersebut diperoleh dari Minahasa atau Sri Lanka pada saat itu.
Bibit tanaman Kakao, Theobroma cacao 
Sementara itu, Kakao dari Sri Lanka yang merupakan jenis Criollo pertama kali masuk berasal dari Jawa. Jawa dari dulu memang hebat ya. Sehingga sangat mungkin bahwa benih Kakao tersebut berasal dari benih asalan dari pohon pohon Kakao yang benihnya berasal dari Minahasa yang dibawa oleh orang orang setempat yang melakukan perdagangan.  Luar Biasa.  Terkagum kagum dengan keuletan dan ketangguhan pedagang pada saat itu.  Biji kakao lebih berharga dari emas.
Serangan hama Kakao, Penggerek buah Kakao, menyebabkan produksi Kakao turun drastis

Kira kira pada tahun 1820, tanaman Kakao di Minahasa diperluas.  Ekspor biji Kakao dari pelabuhan Manado ke Philippina pertama kali dilakukan kira kira pada tahun 1825 dan meningkat terus hingga mencapai 92 ton pada tahun 1838 dan berikutnya menurun hanya sebesar 30 ton pada tahun 1909 dan pada tahun 1930, ekspor biji Kakao dari Manado sama sekali terhenti.   

Pada tahun 1880, dimasukkan lagi tanaman Kakao dari jenis Forastero dari Venezuela.  Jenis ini dikenal dengan daya hasil yang tinggi dan relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit, tetapi memilki citarasa yang lebih pahit.  Lebih lanjut menurut Van Der Knaap pada tahun 1953, bahwa pada tahun 1888 juga dimasukkan jenis Kakao Criollo dari Venezuela yang nantinya dikenal dengan Java Criollo.  Jenis inilah yang merupakan nenek moyang dari Klon Trinotario Djati Roenggo dengan nomor nomor DR yang ada sekarang.  

Cerita Komoditi ini mirip dengan Kopi Arabica yang tergantikan dengan Kopi Arabica.

Rusaknya pertanaman Kopi Arabica di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena terserang Hemileia vastatrix pada tahun 1880 menyebabkan para pekebun kopi mencoba menanam Kakao.  Keberhasilan penanaman pertama tersebut kemudian diikuti oleh penanaman selanjutnya, sehingga pada sekitar tahun 1930 pertanaman kakao di kepulauan Nusantara sebagian besar terdapat di Jawa. dan data ekspor pada tahun tersebut, ekspor dari Jawa sekitar 1408 ton dan dari luar Jawa 55 ton. Daerah penghasil Kakao yang cukup luas pada saat itu adalah di Payakumbuh, Sumatera Barat.

Eks gudang hasil bumi VOC yang sekarang menjadi museum Bahari
Meskipun penanaman Kakao di Kepulauan Nusantara sudah dimulai pada pertengahan abad ke-16 tetapi kegiatan penelitain baru dimulai pada permulaan abad ke-20.  Pada dasawarsa 1980 an terjadi perluasan pertanaman kakao yang sangat signifikan di Indonesia.

Pelabuhan Sunda Kelapa, Sentra Pelabuhan Nusantara di saat jayanya 
Perluasan tersebut lebih banyak diarahkan ke luar Pulau Jawa, yang meliputi Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya.  Tanaman Kakao di Indonesia meliputi luasan lebih kurang 1,2 juta ha dengan produksi tahunan 600 -700 ribu ton dan melibatkan sekitar 1,4 juta keluarga petani.  

Belanda Mendidik Indonesia Tentang Feodalisme

Nah, kalau anda bicara Perkebunan, pastinya tidak jauh dari feodalisme.  Sebagai Negara Penjajah, Belanda tidak ingin kekuasaan dan kekuatannya diganggu oleh kekuatan kekuatan lokal.  

Di sebelah kiri tampak gedung dan kantor VOC yang menjadi Cagar Budaya

Belanda juga menanamkan suatu budaya dimana kaum pengelola perkebunan yang sebagian besar adalah bangsa Belanda di level atas dan sedikit pribumi di tingkatan mandor atau kepala pekerja ditempatkan sebagai golongan khusus berkelas tinggi.  
Di latar belakang tampak Pelabuhan Jayakarta atau saat ini menjadi Pelabuhan Sunda Kelapa yang masih aktif hingga sekarang, bedanya saat ini sudah penuh dengan perumahan 

Sementara para pekerja, yang umumnya masyarakat pribumi dijadikan bangsa kelas bawah.  Budaya ini di kalangan bangsa Indonesia dikenal dengan budaya Inlander.  Bangsa Belanda menindas bangsa lain termasuk bangsa Indonesia dan bertingkah sebagai penjajah yang semena mena terhadap pribumi yang bekerja di Perkebunan demi kepentingan pengelola atau pemilik.  Budaya yang menciptakan gap antara pemilik dan pekerja ini dikenal dengan gaya feodal atau kalau di Eropa dikenal dengan kelompok Bourjoice.

Perkebunan Kakao, Theobroma cacao
Sekarang ini, meskipun  masih ada budaya inlander dan feodal sudah mulai terkikis dan luntur.

Sedikit cerita mengenai Perkebunan, karena kebetulan saya adalah anak mantan Administratur atau ADM yang cukup disegani kalau anda berada di Perkebunan.

Apabila kita memasuki area perkebunan Kopi atau Kakao, yang merupakan sisa sisa peninggalan Belanda, di pintu masuk berdiri dua atau tiga orang pengaman yang senantiasa memberikan hormat apalagi kalau anda batang bersama seorang pimpinan perkebunan, dulunya dikenal sebgai ADM, Administratur yang sekarang umumnya disebut Manager Kebun. 
Setelah mengisi buku tamu, anda akan dipersilahkan menunggu di Besaran atau kantor kebun, atau kalau lebih kecil lagi kantor afdeling yang dipimpin oleh seorang Sinder.

Di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute 
Setelah dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu, dan disajikan makanan dan minuman yang jaman dulu sang pelayan menyajikannya dengan cara berjalan jongkok atau bahkan ada yang lebih feodal lagi dengan cara ngesot.

Saat menginap, akan disediakan guess house atau mess yang diperuntukkan bagi tamu dan pelayan atau petugas penjaga tamu harus bersikap hormat dan sopan.

Budaya Feodal atau Inlander diciptakan oleh Belanda untuk mengelola perkebunan, termasuk Perkebunan Kakao.  Hal ini untuk menjaga kelestaria kebun dan membuat orang atau pekerja takut dan akan bekerja dengan rajin dan tidak berani melawan.

Istilah Ndoro atau Tuan, menjadi umum di daerah perkebunan.  Satu lagi yang menjadi ciri khas perkebunan warisan Belanda atau feodal.  Ada disediakan pasar untuk pekerja, perumahan khusus pekerja dan pekerja dibuat tergantung dengan pemilik atau pengelola supaya pekerja tidak meninggalkan perkebunan.  Satu lagi, pada saat perkebunan jaman Belanda, tidak ada sekolah, semua pekerja dibuat bodoh dan tidak tahu dunia luar, sehingga mereka merasa cukup tinggal di perkebunan dan kalau keluar dari perkebunan tidak akan bisa hidup tenang. 

Karena bodoh, tidak tahu dunia luar, dilanda kemiskinan, merasa sebagai inferior, membuat para pekerja ini merasa cukup aman dan tenang tinggal di dalam perkebunan.  Tetapi saat ini sudah berbeda, setiap perkebunan memiliki sekolah, rumah sakit, pasar yang lengkap dan Klub olah raga. Sudah merubah pola pikir feodal dan Inlander menjadi Rekan kerja.     

Tanaman Kakao Menjadi Tanaman Rakyat

Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, sejumlah perkebunan Belanda dan Inggris (juga membuat beberapa perkebunan di Indonesia, Teh, Kopi dan Kakao) diambil alih oleh Bangsa Indonesia.

Perkebunan Kakao terus melanjutkan produksi dengan cara dan budaya yang tela ditanamkan bangsa Belanda dan ada juga yang membangun Kebun Kakao baru dengan pola modern.

Perkebunan Kakao Rakyat tersebar di Sulawesi, Jawa dan Sumatra

Prospek Kakao yang semakin baik dan signifikan, karena harga jual sempat tinggi, maka pemerintah Indonesia mulai berpikir untuk memperluas perkebuna Kakao yang bisa dikelola oleh Rakyat, dan bukan Perkebunan.

Pada tahun 1970, pemerintah melakukan pengenalan dan penanaman Kakao besar besaran di seluruh Indonesia, khususnya di Sulawesi, Sumatera, Papua, bali dan Jawa.

Di Pulau Jawa awalnya tersendat karena persaingan dan keamanan perkebunan besar yang sudah ada. Gerakan penanaman Kakao besar besaran ini pada dekade tersebut, menjadi tonggak meningkatnya produksi Kakao Indonesia sehingga menjadi salah satu negara penghasil Kakao terbesar di dunia.

Pengelola Perkebunan Kakao
Ada beberapa perkebunan Swasta besar seperti Hasfarm dan beberapa perkebuna besar yang membangun kebun di Jember, Jahab Kalimantan Timur, Ransiki Papua, Bengkulu dan lainnnya 

Fluktuasi Pahit Manisnya Kakao Indonesia 

Pada awalnya, sekitar tahun 2007 - 2013, Produksi kakao dunia sebesar 3.9 juta ton per tahun.  Tiga negara penghasil utama Kakao adalah Pantai gading, 1,445 juta ton per tahun, Ghana sebesar 835 ribu ton dan Indonesia 420 ribu ton.  Kontribusi pasokan biji Kakao untuk bahan baku coklat dari ketiga negara tersebut mencapai 68% dari kebutuhan Kakao dunia dan 10.6% kakao dunia berasal dari Indonesia.

Bayangkan betapa membanggakannya Indonesia dan betapa besar kontribusi Coklat ke dunia.

Proses fermentasi biji Kakao, Theobroma cacao

1 dari 10 coklat di dunia, pada saat itu, berasal dari Indonesia atau 10% dari olahan coklat yang dimakan oleh penduduk dunia, berasal dari Indonesia. Keren khan. 

Tetapi saat ini sangat berbeda. Akibat terus merosotnya produksi, Indonesia kini hanya berada di urutan ketujuh sebagai negara penghasil kakao terbesar di dunia

Mungkin tak semua menyadari bahwa produk olahan buah kakao yang lazim kita nikmati pada mulanya melalui proses yang panjang. Buahnya dipetik oleh petani lokal, diolah dari biji ke pasta hingga bubuk, bergeser dari satu lokasi ke lokasi lain, lalu berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Dalam sebatang cokelat nan lezat tersimpan sejarah panjang yang mewakili cita rasanya yang manis-pahit.

Sepanjang prosesnya, kuantitas dan kualitas kakao Indonesia terus menerus diuji. Selama beberapa tahun lalu, Indonesia pernah masuk dalam lima besar negara pengekspor kakao dunia. Keberadaan kakao di Indonesia tidak dimulai dalam waktu sekejap. Perjalanannya cukup panjang, sudah dijajaki sejak zaman kolonial dan bertahan hingga kini.

Menjemur biji Kakao atau coklat, Theobroma cacao

Setijati D Sastrapradja dalam buku Perjalanan Panjang Tanaman Indonesia (2012) mengatakan, kakao bukanlah tanaman asli Indonesia. Tanaman tersebut berasal dari dataran rendah kawasan Amerika Selatan, seperti Peru, Ekuador, Colombia, dan Brasil. Orang-orang Indian Amerika sejak ribuan tahun lalu sudah mengonsumsi biji kakao. Sekitar abad ke-16, orang Spanyol disebut sebagai bangsa yang pertama kali memperkenalkan kakao keluar dari daerah asalnya.

Biji cokelat dibawa masuk oleh orang Spanyol dari Meksiko saat pendaratan di Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara. Seperti yang suda diuraikan di atas. Minahasa menjadi salah satu tujuan tanaman kakao pertama kali.

Tanaman kakao (Theobroma Cacao L) diperkirakan masuk ke wilayah Nusantara sekitar abad ke-16. Pada buku Komoditi Kakao: Peranannya dalam Perekonomian IndonesiaI (1995), Dr James J Spillane menjelaskan, biji cokelat dibawa masuk oleh orang Spanyol dari Meksiko saat pendaratan di Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara. Awalnya tanaman kakao dikenal sebagai tanaman pekarangan dan nilai komersialnya belum diutamakan. Pengembangan potensi pun dilakukan dengan penanaman kakao dalam skala perkebunan di sejumlah daerah di Indonesia, yakni di Minahasa sekitar tahun 1780 hingga Ambon dan Seram (1858). Akan tetapi, perkebunan ini tidak berlangsung lama karena serangan hama.

Hama dan Penyakit Kakao yang berpengaruh signifikan pada produksi Kakao

Di Pulau Jawa, kakao ditanam sebagai tanaman hias di kebun para pejabat Belanda. Selanjutnya, biji-biji tersebut mulai tersebar meluas ke kebun sekitar warga. Dahulu kakao memang tak semoncer komoditas kopi. Pohonnya hanya ditanam di antara perkebunan kopi. Pada kurun 1850 hingga 1880, hasil panen kopi dalam negeri sangat berjaya. Bahkan, Indonesia pernah menjadi negara penghasil kopi jenis arabika terbesar di dunia. Akan tetapi, penyakit gugur daun membuat perkebunan kopi merapuh. Produksinya turun drastis, kopi tak menarik lagi untuk ditanam sekitar tahun 1879.

Setelah kopi meredup, barulah kakao dilirik sebagai komoditas yang menarik ditanam. Perkebunan kakao gencar dilakukan sepanjang Jawa Barat hingga Jawa Timur. Lagi-lagi, tanaman kakao tak bertahan lama karena serangan hama cacao moth (Aerocercorps cramerellea Sn dan Helopeltis sp) yang tak terkendali pada awal abad ke-19.Hingga tahun 1930, perkebunan kakao di sepanjang Jawa pun dialihkan menjadi perkebunan kopi atau karet.

Buah Coklat yang terserang hama penggerek buah Kakao, 

Masih berdasarkan buku Komoditi Kakao tadi, subspesies tanaman kakao yang ditanam di Pulau Jawa pada awalnya didominasi jenis criollo atau mulia. Jenis ini memiliki sejumlah kekurangan, antara lain rentan terhadap hama/penyakit dan produktivitas rendah. Keunggulannya adalah memiliki cita rasa dan aroma kuat. Sekitar tahun 1888, MacGillavry, manajer dari perkebunan Djatiroenggo di Ungaran, Jawa Tengah, memperkenalkan bibit forastero atau lindak dari Venezuela. Varietas lindak relatif lebih tahan terhadap serangan hama, produktivitas lebih tinggi, lemak kakao yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan criollo. Namun, cita rasanya dan aroma kurang kuat.

Persilangan kedua jenis yang terjadi secara tidak sengaja menghasilkan bibit baru yang unggul. Penelitian lebih lanjut terkait pemuliaan tanaman pun dilakukan. Hasilnya, satu klon Djatiroenggo (DR) ditemukan sekitar tahun 1938. Penelitian terus dilakukan hingga didapat persilangan lainnya. Tiga klon mulai dikembangkan di Jawa Timur sejak tahun 1951, yakni DR1, DR2, dan DR38.  Penemuan ini disebut menjadi penyelamat perdagangan cokelat di Jawa kala itu.

Namun, pengembangannya tidak memberikan hasil yang baik di Sumatera karena produktivitasnya rendah. Klon DR pun diganti dengan bibit Upper Amazon Interclonal Hybrid atau hasil persilangan antar-klon dari Sabah. Sejak tahun 1970-an, kakao mulai dibudidayakan sebagai komoditas perkebunan rakyat, negara, dan swasta di seluruh Indonesia, yakni Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, dan Jawa Timur. Jenis kakao yang banyak ditanam adalah kakao lindak karena perawatannya lebih mudah, pertumbuhan cepat, dan produktivitasnya lebih tinggi.

Sejak zaman kolonial, kakao Indonesia sudah diekspor ke pasar luar negeri untuk memenuhi permintaan negara-negara di Eropa


Pelatihan untuk pengelolaan Perkebunan Kakao

Dalam kurun waktu 10 tahun (1974-1984), pengembangan perluasan tanaman budidaya kakao relatif cepat. Peningkatannya mencapai 395 persen. Semula luasnya 16.100 hektar (ha) pada 1974 dan bertambah menjadi 79.660 ha (1984). Perluasan ini diikuti pula dengan bertambahnya produksi kakao. Pada 1974, produksinya 3.400 ton. Jumlahnya meningkat 362 persen atau menjadi 15.700 ton (1984).

Sejak zaman kolonial, kakao Indonesia sudah diekspor ke pasar luar negeri untuk memenuhi permintaan negara-negara di Eropa. Dalam prosesnya, sejumlah kendala ekspor masih membayangi para petani. Misalnya, kualitas biji kakao yang belum memenuhi standar internasional masih menjadi kendala. Berdasarkan catatan Kompas, pada 1989, permintaan kakao Indonesia di kancah pasaran dunia cukup tinggi. Akan tetapi, mutu biji kakao Indonesia masih dianggap belum baik. Saat itu, hampir 80 persen produksi biji kakao Indonesia berasal dari kebun milik rakyat.

Minimnya pengetahuan petani terkait sistem pengolahan pascapanen biji kakao diduga menjadi penyebab. Misalnya, mereka kurang memperhatikan ketentuan standar bobot biji kakao kering dan sistem pemeraman (fermentasi). Padahal, fermentasi biji menjadi salah satu penentu kualitas sehingga tak boleh dilakukan sembarangan.

Ada apa Dengan Mutu Kakao Indonesia?

Rendahnya mutu biji kakao yang diekspor menyebabkan komoditas ini terkena denda yang cukup besar di pasar internasional.

Beragam kendala dan masalah yang dihadapi dalam produksi kakao mendorong terbentuknya asosiasi yang diharapkan bisa menjadi wadah bertukar pikiran dan mencari solusi. Sekitar awal tahun 1989 dibentuklah Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) yang memiliki perwakilan di setiap wilayah. Askindo turut membantu para petani, mulai dari pembibitan hingga penanganan pascapanen. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan mutu kakao.

Pengolahan biji coklat

Pengolahan yang belum memenuhi standar akan berdampak pada rendahnya harga yang diberikan. Sekitar tahun 1990, mutu kakao Indonesia menduduki peringkat ketujuh di pasar dunia. Hanya 63 persen dari total ekspor 85.000 ton per tahun yang masuk dalam kategori kakao berstandar mutu prima di pasaran internasional (Kompas, 13/6/1990).

Rendahnya mutu biji kakao yang diekspor menyebabkan komoditas ini terkena denda yang cukup besar di pasar internasional. Misalnya, pada 1992, ekspor biji kakao dari Sulawesi Selatan kehilangan Rp 36 miliar dari total 115.000 ton biji kakao yang dikirim. Hal ini disebabkan biji kakao tidak difermentasi hingga kurang sempurnanya fermentasi biji.

Ada Apa dengan Faktor Fermentasi dan Pengeringan Kakao?

Para petani enggan memfermentasi biji kakao karena harga jual yang ditawarkan eksportir tidak sebanding dengan waktu yang dihabiskan untuk fermentasi. Proses tersebut membutuhkan waktu setidaknya tujuh hari. Oleh karena itu, mereka lebih senang menjualnya secara langsung kepada para pengepul dan bisa menggunakan uang penjualan segera.

Peralatan yang dibutuhkan untuk proses fermentasi biji Kakao

Proses fermentasi Biji Kakao

Biji Kakao yang siap dicuci dan dijemur setelah proses fermentasi

Kapan Masa Kejayaan Kakao?

Para petani di sejumlah daerah merasakan manisnya panen kakao dan kalap membeli kendaraan atau peralatan elektronik.

Di tengah krisis ekonomi tahun 1998, harga kakao meroket hingga Rp 17.000 per kilogram (kg) dari sebelumnya hanya sekitar Rp 2.800 per kg. Hal ini dipicu melonjaknya kurs dollar Amerika Serikat terhadap rupiah. Para petani di sejumlah daerah merasakan manisnya panen kakao dan kalap membeli kendaraan atau peralatan elektronik. Bahkan, mereka mendapat sebutan orang kaya baru (OKB).


Harga Kakao saat ini di terminal dan informasi yang sekitar berada di level US$ 2412 per ton. 


Kondisi itu terjadi di Sulawesi Selatan. Para petani terlena dan terkesan enggan menginvestasikan keuntungan yang didapat untuk biaya peningkatan produktivitas dan perawatan tanaman. Pohon kakao dibiarkan tumbuh begitu saja dan tak diberi pupuk sehingga produktivitas dan kualitas buah kakao turut berdampak. Padahal, kala itu, Sulsel merupakan penyumbang terbesar 70 persen dari sekitar 400.000 ton kakao di seluruh Indonesia. Keadaan tersebut dikhawatirkan mengancam Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia.
Peralatan pengolahan biji Kakao, khususnya fermentasi

Selain permasalahan di hulu, bagian hilir kakao juga diuji dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Dalam catatan Kompas tahun 2003, sebanyak 70 persen dari 48 pabrik pengolahan biji kakao menghentikan usaha karena krisis bahan baku akibat kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kurang menguntungkan. Krisis bahan baku disebabkan kekeringan dan serangan hama penggerek buah kakao.

Dalam kebijakan tersebut, ditetapkan biji kakao yang dipasarkan kepada pabrik dalam negeri selalu dikenai PPN 10 persen. Apabila diekspor, komoditas ini dibebaskan pajak. Kondisi ini dianggap merapuhkan geliat industri pengolahan kakao dalam negeri karena terkesan memutus harapan Indonesia untuk bisa mengekspor produk olahan selain biji. Industri pengolahan yang dimaksud berfokus pada memproses biji kakao menjadi kakao cair, lemak, bubuk, hingga padatan kakao. Bahan tersebut nantinya akan digunakan dalam industri pangan, farmasi, dan kosmetik.

Keterpurukan Kakao Indonesia

Mereka tidak hanya jatuh tertimpa tangga, tetapi juga terpeleset. Itulah mungkin yang bisa digambarkan untuk produsen Kakao Indonesia yang umumnya adalah rakyat.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010 tentang Bea dan Tarif Keluar Biji Kakao juga menimbulkan penolakan dari petani. Bea keluar yang ditanggung eksportir akan berdampak pada petani sehingga harga jual di tingkat petani menjadi rendah. Situasi tersebut justru kian merugikan petani. Padahal, jauh sebelumnya, mereka sudah menghadapi segudang permasalahan, seperti produktivitas rendah, usia pohon tua yang tidak lagi produktif, serangan hama, hingga harga jual yang tak pasti. Mereka tidak hanya jatuh tertimpa tangga, tetapi juga terpeleset.

Hingga tahun 2010, mayoritas perkebunan kakao di Indonesia masih didominasi perkebunan rakyat dengan produktivitas rendah. Persoalan biji kakao yang tidak terfermentasi dengan baik masih menjadi duri dalam daging. Hal ini berdampak pada industri pengolahan produk kakao dalam negeri yang harus mengimpor biji kakao dari Afrika sebanyak 30.000 ton per tahun dengan nilai sekitar 50 juta dollar Amerika Serikat. Selain biji, mereka juga mengimpor bubuk kakao. Jumlah impor bubuk kakao pada 2009 mencapai 10.700 ton dengan nilai 21,5 juta dollar AS.

Berikut Contoh laporan ICCO tentang market yang tetap bagus,

Pada akhir Juni, kedatangan kumulatif biji kakao untuk musim kakao 2020/21 di Pantai Gading dan Ghanatetap lebih tinggi dari level yang tercatat pada periode yang sama 2019/20. Pada 30 Juni 2021, kedatangan kumulatif di Pantai Gadingpelabuhan terlihat sebesar 2,093 juta ton, naik 5,2% dibandingkan dengan 1,989 juta ton yang tercatat tahun sebelumnya. 

Prosesing untuk penggilingan, pengolah di Pantai Gading dilaporkan telah menggiling 402.000 ton biji kakao pada bulan Juni, turun dari 422.000 ton yang diproses pada periode yang sama dengan musim kakao sebelumnya.

Di Ghana, pembelian kakao bergradasi dan tertutup untuk tahun panen 2020/21 dilaporkan telah mencapai 981.222 ton pada 17 Juni 2021, naik dari 754.800 ton yang tercatat pada periode yang sama pada musim sebelumnya.

Pada Juni 2021, Conseil du Café-Cacao mengumumkan bahwa Pantai Gading berada di target yang tepat untuk mencapai target penjualannya untuk ekspor kontrak. Memang, negara itu dilaporkan telah menjual 74% atau 1,18 juta ton dari target yang ditetapkan untuk kontrak ekspor untuk musim kakao 2021/22. Di negara tetangga Ghana, penjualan kontrak berjangka mencapai 350.000 ton pada Juni 2021; mewakili 58% dari 600.000 ton yang akan dijual oleh negara.

Berikut laporan produksi Kakao menurut ICCO dalam ribu ton satuan.

Produksi kakao Indonesia terus merosot hingga kini hanya di kisaran hanya 200.000 ton pada 2020/2021.

Dari 420 ribu ton pada tahun 2013, menurun hingga lebih dari separuhnya. Luar biasa penurunan ini.

Impor bahan mentah kakao terus meningkat bersamaan dengan tingginya permintaan produk olahan. Berdasarkan data Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), impor biji kakao mencapai 112.712 ton selama Januari-Mei 2018. Angka itu naik 41,2 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 79.792 ton. Peningkatan itu sejalan dengan penurunan produksi kakao dalam negeri. Berdasarkan data AIKI, produksi kakao Indonesia turun dari 520.000 ton pada 2007 menjadi 340.000 ton pada 2016. Padahal, kapasitas terpasang industri pengolah kakao di Indonesia diperkirakan mencapai 800.000 ton per tahun (Kompas, 21/7/2018) seperti ilutrasi grafis di bawah ini.

Permasalahan hulu hingga hilir perlu diurai satu per satu. Tentu membutuhkan waktu cukup lama dalam prosesnya. Campur tangan pemerintah pusat sangat diperlukan guna mewujudkan mutu baik, produksi, dan produktivitas perkebunan kakao dalam negeri. Berdasarkan data Internatioonal Cocoa Organization (ICCO) sepanjang tahun 2018 hingga 2020, Indonesia kini hanya berada di urutan ketujuh sebagai negara penghasil kakao terbesar di dunia, dari semula sempat berada di lima besar. Sementara, Pantai Gading, Ghana, dan Ekuador bertahan sebagai tiga besar negara penghasil kakao.

Berdasarkan laporan termutakhir yang dikeluarkan ICCO, produksi kakao Indonesia terus merosot hingga kini hanya di kisaran hanya 200.000 ton pada 2020/2021, jauh dari kapasitas terpasang yang diperkirakan sekitar 800.000 ton per tahun (lihat 2 infografik di atas). Potret data ini tentunya tak sesuai dengan data yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kemeterian Pertanian yang berjudul “Produksi Kakao Menurut Provinsi di Indonesia 2017 – 2021”. Angka estimasi untuk produksi tahun 2021 disebutkan mencapai 728.046 ton, yang tentunya amat timpang dibandingkan dengan data yang dikeluarkan dalam ICCO untuk tahun yang sama. Pihak Dirjen Perkebunan ketika dihubungi hingga Kamis (22/7/2021), menyatakan masih akan mencermati perbedaan tersebut.

Soetanto Abdoellah, peneliti senior di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia mengungkapkan, merosotnya produksi kakao Indonesia secara garis besar disebabkan oleh kurangnya perawatan hingga pergantian tanaman perkebunan menjadi jenis tanaman lain yang lebih menguntungkan daripada kakao. Kurangnya perawatan itu biasanya karena petani tidak memberikan perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman atau petani sudah mempunyai sumber pendapatan lain, misalnya berdagang atau menjadi tukang ojek sehingga kebunnya terlantar.

Pengolahan Kakao

Di Indonesia, usaha dan industri pengolahan kakao berkembang pesat. Banyak produk olahan kakao berupa cokelat batang hingga minuman cokelat dihasilkan, mulai dari usaha kecil hingga industri besar, antara lain Cokelat Monggo di Yogyakarta hingga Silverqueen (PT Petra Sejahtera Abadi).

Beberapa tahun belakangan, juga bermunculan aneka jenama cokelat-premium artisan di Jakarta hingga Bali yang mengusung kakao lokal Indonesia dengan pendekatan single origin atau asal-tunggal. Beberapa di antaranya misalnya, Pipiltin Cocoa, Krakakoa, Pod Chocolate, dan Mason Bali. Dengan konsep asal-tunggal tersebut, konsumen dapat mencicipi kekayaan rasa asli (tidak tercampur dengan kakao dari kawasan lain) cokelat dari Tabanan di Bali, Glenmore di Banyuwangi, Pidie di Aceh, Tana Zozo di Flores, hingga cokelat dari Ransiki di Papua.

Nikmatnya Saat Kakao Berubah Menjadi Coklat

Penemuan buah kakao hingga akhirnya dapat dikonsumsi telah melalui perjalanan yang cukup panjang. Konsumsi kakao pertama kali diketahui dari kebiasaan suku Maya dan Aztec di Meksiko. Mereka membuat minuman berbahan baku kakao dengan cara menyangrai biji kakao dalam kuali tanah dan dipecah di antara dua permukaan batu. Hasil gilingan bubuk itu dicampur dengan rempah vanila dan cabai kemudian diaduk sampai mengental. Konon, minuman bernama chocolatl itu menjadi minuman favorit para raja dan anggota istana.
Pada 1520, Don Fernando Cortes, penjelajah asal Spanyol, menjadi orang pertama yang memperkenalkan resep minuman cokelat ke luar daerah Meksiko dengan menambah gula dan kayu manis. Bermula dari itu, minuman cokelat menjadi populer di Spanyol dan sejumlah negara Eropa, antara lain Perancis, Italia, dan Inggris. Penyebarannya terjadi di lingkup kecil, misalnya Putri Raja Spanyol Anna mengenalkan minuman ini kepada suaminya, Raja Louis XIII dari Prancis. Minuman cokelat menjadi simbol kemewahan karena harganya yang mahal dan hanya dikonsumsi para pejabat.

Di London, kedai cokelat mulai menjamur sekitar 1657. Susu segar ditambahkan pada campuran minuman cokelat dan menjadi favorit konsumen menengah atas. Hingga tahun 1820, jumlah impor biji kakao oleh Inggris terus meningkat dari 250 ton menjadi 500 ton. Minuman cokelat dicintai berbagai kalangan, terutama orang kaya.

Pengolahan Coklat
Konsumsi Kakao per kapita dunia hingga saat ini sekitat 0.613 kg/orang per tahun dan mungkin bisa meningkat ke 1.092 kg/orang per tahun.

Sementara itu, bila konsumis Kakao dilihat dari data pengolahan grindings diketahui bahwa tingkat konsumsi kakao dunia untuk diolah menjadi coklat meningkat terus dari tahun ke tahun.

Tingkat grindings dunia tahun 2012 -2013 adalah 4.052 juta ton dimana Eropa sebesar 1.575 juta ton, Amerika 878 ribu ton, Indonesia 225 ribu ton dan Malaysia 293 ribu ton dan Afrika 755 ribu ton.  Melihat tingkat konsumsi Kakao yang masih kecil serta adanya peningkatanterus dalam grindings maka dapat dikatakan bahwa konsumsi dunia masih memiliki prospek untuk berkembang. 

Dalam perkembangannya, minuman cokelat terus mengalami perbaikan tekstur. Salah satunya adalah mengurangi kesan ”berat” dan kental yang berasal dari kandungan lemak pada biji kakao. Sekitar tahun 1828, warga Belanda bernama Van Houten menemukan terobosan berupa mesin tekan untuk mengeluarkan lemak cokelat atau mentega (cocoa butter). Pemisahan ini menghasilkan bubuk cokelat yang digunakan sebagai bahan baku minuman cokelat.

Proses pengolahan Coklat
Produk sampingan berupa cocoa butter mendorong para produsen untuk mencari pasar yang bersedia membelinya. Lemak digunakan sebagai campuran pembuatan gula-gula cokelat sehingga dihasilkan adonan yang homogen. Pabrik cokelat dibangun pertama kali oleh Joseph Fry di Bristol, Inggris, sekitar tahun 1847. Produk awalnya adalah cokelat blok tanpa tambahan bahan lain.

Produk cokelat yang dihasilkan terus disempurnakan hingga didapat tekstur yang tidak berpasir.

Inovasi terus berkembang, yakni cokelat blok dengan tambahan susu dan gula ditemukan Daniel Peter asal Swiss pada tahun 1876. Tidak mudah untuk mencampurkan lemak cokelat, susu, dan gula. Susu yang digunakan harus memiliki kadar air yang rendah karena air akan melarutkan gula. Hasil akhirnya berpotensi menjadi tidak padat (pasta). Produk cokelat yang dihasilkan terus disempurnakan hingga didapat tekstur yang tidak berpasir.

Sekitar tahun 1880, Rodolhe Lindt menemukan inovasi mesin conche yang bisa menghasilkan produk cokelat lebih lembut. Produk cokelat putih pertama kalinya diproduksi tahun 1930. Komposisinya adalah gula, susu bubuk, dan cocoa butter.

Untuk menghasilkan produk tersebut, sebelumnya buah kakao melalui proses panjang, mulai dari sortasi buah, pemecahan, fermentasi, pencucian, penirisan, penjemuran, pengeringan, hingga penyimpanan. Fermentasi menjadi salah satu proses penting karena membantu dalam pembentukan prekursor senyawa aroma dan warna produk yang dihasilkan. Aroma cokelat muncul ketika penyangraian biji-biji kakao yang telah difermentasi.

Konsumsi produk cokelat kerap kali menimbulkan pro dan kontra. Dikutip dari buku Teknologi Cokelat (2012) karya Prof Haryadi dan Supriyanto, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cokelat mengandung antioksidan tinggi. Aktivitas antioksidan dalam kakao yang diukur dalam satuan Oxygen Radical Absorbance Capacity (ORAC) sebesar 900 dibandingkan teh hijau sebesar 800, buah blueberry (100), dan bawang putih (20). Antioksidan dalam produk cokelat terbanyak dimiliki oleh bubuk kakao, cokelat batang, dan cokelat susu. Polifenol pada kakao dinilai efektif dalam pencegahan kerusakan DNA dengan mengikat radikal bebas dalam tubuh.

Konsumsi cokelat bisa memberikan pengaruh pada suasana hati

Pandangan konsumsi cokelat dapat memicu kegemukan tak berdampak signifikan jika diimbangi dengan aktivitas fisik dan makan berimbang, seperti disebutkan Ali Khomsan, Guru Besar Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga IPB, dalam buku Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup (2004).

Adapun sepertiga lemak yang terkandung dalam cokelat adalah asam oleat (asam lemak tak jenuh). Jenis tersebut juga banyak dijumpai pada minyak zaitun yang berdampak baik bagi kesehatan jantung. Kandungan katekin (antioksidan dalam cokelat) yang tinggi juga mencegah penuaan dini. Cokelat juga bisa memberikan efek terjaga atau tidak mengantuk karena kandungan theobromine dan kafein di dalamnya.

Menurut Ali, konsumsi cokelat bisa memberikan pengaruh pada suasana hati. Hal ini disebabkan kandungan feniletilamin yang merupakan substansi mirip amfetamin yang dapat meningkatkan triptofan dan menghasilkan hormon dopamin. Hormon ini menimbulkan suasana senang, bahagia, dan perbaikan suasana hati. Feniletilamin dianggap memiliki khasiat aphrodisiac yang memunculkan perasaan seperti orang sedang jatuh cinta.

Ok, Semoga bermanfaat dan menjadi tahu tentang Coklat, Cokelat atau Theobroma cacao.



















Subscribe to receive free email updates:

7 Responses to "Cerita Coklat, Theobroma cacao Indonesia "

  1. Assallammualaikum, selamat malam Om Eko? Perdana singgah di blog Om Eko , berbicara akan kakao atau pohon coklat disini tepatnya di Jawa masih sedikit yang membudidayakannya mungkin karena proses pengolahannya yang sedikit ribet dan memakan waktu yang cukup lama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wa'alaikumsalam wr.wb. Sebenarnya tanaman coklat awalnya banyak di Pulau Jawa, seperti di Blitar, Malang, Jember dan banyuwangi Jawa Timur, berikutnya di Pandeglang dan Serang Jawa Barat, dan di Cialacap dan Salatiga, Jawa tengah. Tetapi lambat laun habis karena Coklat termasuk tanaman yang perlu perawatan. Mirip dengan kopi juga. Biaasanya berbearengan antara tanaman kopi dan Coklat. Terima kasih sudah berkunjung. Salam sehat.

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Ulasan Pak Eko detailnya luar biasa. Oh, rupanya Pak Eko anak mantan Administrator yang disegani di perkebunan milik kolonial. Pantasan banyak tahu seluk beluk perkebunan Belanda.

    Oh, ya. Pertama saya ke Bengkulu tahun 2006 lewat Tapan, di sepanjang jalan ketemu kebun kakao yang luas sekali. Sayang tak tahu nama daerahnya apa. Kata orang-orang di bus yang saya tumpangi, kebun itu bekas milik Belanda. Sekarang semua pohon kakao itu sudah dimusnahkan. Sebagian berganti tanaman karet ada juga pohon sawit. Maaf Pak Eko. telat berkunjung. Di daerah kami seharian listrik mati. Tower telkomselnya juga padam.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cerita tentang Kakao juga mirip dengan Kopi, cuma kopi sedikit lebih mujur karena bisa langsung dikonsumsi. Wah, jadi malu sama Bu Nur, kebetulan saja pernah tinggal di area perkebunan. Di Bengkulu memang ada Perkebunan Kakao sepertinya dulu milik Hasfarm salah satu perkebunan swasta yang cukup besar dan beberapa kebun Kakao rakyat di daerah kepahiang, bengkulu utara dan Bengkulu selatan. Kebetulan saya pernah bolak balik daerah sumatra, sebelum bergeser ke Kalimantan. Daerah sumatara biasanya keliling ke Lampung, Bengkulu, Jambi (Sarolangun - Bangko), Palembang, Sumut hingga perbatasan Aceh. Terima kasih atas kunjungannya Bu, salam sehat dan selamat beraktifitas serta semoga listrik dan alat komunikasi tidak padam lagi.

      Delete
  4. Wowwww, lengkap banget ini mah.
    Btw dulu bapak saya punya kebun cokelat, dan waktu kecil, kami sering banget metikin buah cokelat yang udah matang, terus dijilatin bijinya, manis dong ya.
    Pas gigit bijinya astaga pahit, hahaha.

    Sayang ortu nggak pinter ngerawatnya, akhirnya semua pohonnya mati.
    Dulu tuh sering dijual juga, sama mama dijemur, terus ditimbang gitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah ternyata Mbak Rey sudah kenal pohon Coklat ya. Banyak yang suka coklat tapi belum pernah lihat pohonnya. Dulu kebun coklatnya di daerah mana Mbak? Saya juga suka makan bagian plasentanya yang berwarna putih, manis asam seperti sirsak, kalau bijinya mesti disangray dulu dan diproses jadi coklat. Kalau langsung memang pahit he..he..he... Salam sehat dan selamat beraktifitas

      Delete

Terima kasih atas kunjungan teman teman, semoga artikel bermanfaat dan silahkan tinggalkan pesan, kesan ataupun komentar.

Popular Posts