Sarah Catherine Gilbert, Kajian Penemu Vaksin Astra Zeneca

Seri Tokoh

Sarah Catherine Gilbert
Kajian Penemu Vaksin Astra Zeneca

Ada salah satu artikel di Kompas yang sangat menarik, mengenai Sarah Gilbert, Sang Penemu Vaksin dan disebut baik hati.

Vaccine Astra Zeneca
Pandemi Covid memang tidak diduga, sehingga banyak ahli dan lembaga yang berlomba dan berniat baik untuk melakukan research demi menemukan obat penangkal Covid.

Kebetulan saya divaksin dengan Vaksin Astra Zeneca, sehingga paling tidak saya juga mencari informasi terkait Vaksin yang diproduksi dari Oxford ini.

Salah satunya adalah Sarah Gilbert,  ilmuwan yang sudah 25 tahun dalam pengembangan vaksin. Sarah memberikan cukup banyak sumbangsih dalam pengkajian berbagai jenis vaksin. Tidak mengherankan ketika pandemi Covid-19 terjadi, Gilbert dipercaya sebagai pemimpin tim pengembangan vaksin untuk virus SARS-CoV-2 atau yang dikenal oleh awam sebagai virus korona jenis baru

Sosok Sarah Chaterine Gilbert, Sosok di balik pengembangan Vaksin Astra Zeneca dan mendapat sambutan tepuk tangan yang meriah di ajang turnamen tenis Wimbledon tahun 2021.  Foto Oxford. 
Artikel yang dimuat di Kompas  22 Juli 2021  dan ditulis oleh  Laraswati Ariadne sangat menarik dan penangkal Covid ini masih banyak memerlukan Sarah Sarah yang lain.

Kajian vaksin influenza universal itulah yang mendasari tim Gilbert di Vaccitech, lembaga intra Universitas Oxford yang ia dirikan khusus untuk penelitian vaksin, guna mengembangkan vaksin ”Penyakit X”. Ini istilah untuk penyakit yang belum muncul.

Dengan memegang prinsip kesetaraan akses vaksin, Sarah Gilbert yang memegang sebagian dari HKI vaksin Oxford/AstraZeneca sepakat menangguhkan HKI vaksin tersebut. Dengan begitu, vaksin bisa diproduksi di sejumlah negara.

Nama Sarah Catherine Gilbert tengah melejit di dunia. Di ajang turnamen tenis Grand Slam Wimbledon, ia mendapat penghormatan khusus. Bagaimana dia bisa dihormati sedemikian rupa?

Sarah Gilbert adalah Guru Besar Vaksinologi Universitas Oxford yang memimpin tim untuk menemukan vaksin pertama pandemi Covid-19. Vaksin itu kemudian dikembangkan bersama perusahaan farmasi AstraZeneca dan kini di seluruh dunia dikenal dengan nama vaksin Oxford/Astra Zeneca.

Gilbert bukan orang baru dalam penelitian vaksin. Ibu dari tiga anak kembar ini memiliki pengalaman selama 25 tahun dalam pengembangan vaksin. Ia memberikan cukup banyak sumbangsih dalam pengkajian berbagai jenis vaksin. Tidak mengherankan ketika pandemi Covid-19 terjadi, Gilbert dipercaya sebagai pemimpin tim pengembangan vaksin untuk virus SARS-CoV-2 atau yang dikenal oleh awam sebagai virus korona jenis baru.

University of Oxford merupakan universitas tertua di Inggris, serta dianggap sebagai salah satu universitas terkemuka di dunia. Oxford merupakan anggota dari Russell Group, Coimbra Group, League of European Research Universities, dan juga menjadi anggota inti di Europaeum, menjadikan Oxford masuk dalam jajaran 5 universitas terbaik dunia dalam bidang akademik. Foto : Konsultan Pendidikan

Sarah C. Gilbert pertama kali datang ke Oxford untuk bekerja sebagai peneliti pascadoktoral tahun 1994 bermodalkan gelar doktor di bidang biokimia dari Universitas Hull. Tahun 1999, ia bergabung menjadi dosen tetap sekaligus salah satu peneliti utama di Institut Jenner, lembaga di bawah Universitas Oxford yang melakukan penelitian vaksin dan obat-obatan.

Menurut biodata di laman resmi Oxford, di lembaga tersebut ia terlibat dalam mengkaji sejumlah pengembangan vaksin untuk penyakit malaria, influenza, demam Nipah, demam Lassa, demam Lembah Rift, dan sindrom pernapasan akut Timur Tengah (MERS).

Pandemi Covid, menjadi wabah dunia dan melibatkan berbagai pihak, Pemerintah, Akademisi, pakar Kesehatan, Pakar kedokteran dan berimbas kepada perekonomian dunia.

Tahun 2007, Gilbert dan tim memperoleh hibah untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai vaksin untuk penyakit-penyakit yang telah tereradikasi, tetapi masih bisa muncul kembali jika manusia tidak melakukan pencegahan. Berkat hibah ini, mereka bisa mengembangkan vaksin influenza universal yang bertujuan untuk  mengobati semua jenis influenza.

Dalam pemaparannya di majalah sains, Splice, ia menerangkan bahwa influenza masih menjadi pandemi walau di negara-negara Barat masyarakat umumnya telah diimunisasi rutin setiap tahun. Pasalnya, virus influenza bermutasi sangat cepat. Penyakit ini tidak hanya bisa menulari manusia, tetapi juga binatang. Bahkan, binatang yang mengidap influenza bisa menyebarkannya ke manusia.

Salah satu contoh gambar Virus. Pixabay
Untuk melawan infuenza, Gilbert dan kolega membuat vaksin yang bekerja  dengan cara menambah jumlah sel T, sel daya tahan tubuh, yang spesifik terbentuk jika seseorang terkena virus influenza. Vaksin ini diujicobakan kepada 500 orang berusia 65 tahun ke atas di Inggris per April 2017 dan penelitiannya masih berlangsung.

Kajian vaksin influenza universal itulah yang mendasari tim Gilbert di Vaccitech, lembaga intra Universitas Oxford yang ia dirikan khusus untuk penelitian vaksin, guna mengembangkan vaksin ”Penyakit X”. Ini istilah untuk penyakit yang belum muncul.

Tantangan menciptakan Vaksin untuk mengendalikan Virus Covid 19

Menurut dia, tantangannya adalah menciptakan vaksin baku yang kemudian bisa disesuaikan sesuai kebutuhan untuk melawan penyakit. Ia tidak menyangka, vaksin baku yang tersimpan di laboratorium sejak 2018 itu akan segera diuji kemampuannya di kehidupan nyata.

Ketika kasus-kasus awal Covid-19, yang saat itu dikenal dengan istilah Pneumonia Wuhan, diberitakan di media arus utama pada akhir 2019, Gilbert beserta tim menyimpulkan harus ada alternatif pengobatan untuk berjaga-jaga jika penyakit ini menyebar.

Selain Gilbert, tim Vaccitech Oxford ini terdiri dari Andrew Pollard, Teresa Lambe, Sandy Douglas, Catherine Green, dan Adrian Hill. Mereka mengembangkan vaksin baku berbasis adenovirus, sejenis virus yang mengakibatkan penyakit dengan gejala seperti flu.

Adenovirus ini dirancang agar tidak bisa berkembang biak ketika disuntikkan ke dalam tubuh manusia. Di dalam adenovirus ada tambahan protein yang diambil dari duri permukaan virus korona. Walhasil, adenovirus ini akan melepas protein tersebut di dalam tubuh manusia dan menciptakan daya tahan terhadap infeksi.

”Memang rumit karena belum ada vaksin untuk virus korona pada manusia. Vaksin virus korona selama ini hanya untuk unggas dan bovinae (keluarga sapi, kerbau, dan antelope),” tutur Gilbert dalam wawancara dengan harian The Independent pada Maret 2021.

Vaksin pertama Kode AZD1222 tahun 2020

Vaksin ini diberi kode AZD1222 dan mulai diuji klinis pada April 2020. Umumnya, uji klinis memakan waktu hingga lima tahun. Tim penguji tidak akan memulai kegiatan sebelum mereka mengumpulkan sukarelawan yang sesuai dengan kuota dan persyaratan kesehatan.

”Kami memakai pendekatan yang berbeda, dengan mengiklankan pencarian sukarelawan dan langsung melakukan uji klinis sembari terus menambah sukarelawan,” kata Gilbert.

Uji klinis ini memakan waktu empat bulan. Per September 2020, vaksin yang kemudian diproduksi bekerja sama dengan AstraZeneca ini menjadi yang pertama disetujui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk pencegahan Covid-19.

Berdasarkan data Pemerintah Inggris per Juni 2021, di negara tersebut vaksin Oxford/AstraZeneca ini 92 persen efektif mencegah masyarakat untuk dirawat di rumah sakit jika terinfeksi Covid-19. Dalam uji klinis, efikasi vaksin ini adalah 74 persen, tetapi pada kenyataan setelah dilakukan imunisasi massal, angkanya naik menjadi 90 persen.

Meskipun demikian, Gilbert dan koleganya tidak mengklaim bahwa orang-orang yang disuntik vaksin tersebut akan kebal sepenuhnya terhadap Covid-19. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa memakai masker, menjaga jarak, dan sering membersihkan tangan ataupun permukaan benda-benda tetap harus dilakukan guna mencegah penyebaran Covid-19.

Dalam dua wawancara berbeda di LBC dan I News, pekan lalu, Gilbert juga mendorong imunisasi Covid-19 di seluruh dunia. Ia menjelaskan bahwa situasi tidak akan bisa kembali normal jika daya tahan tubuh massal berskala global tidak terwujud. Berdasarkan Our World in Data Juli 2021, secara total negara-negara maju telah mengimunisasi 50 persen penduduknya. Sebaliknya, kumulatif imunisasi Covid-19 di negara-negara miskin baru 1 persen.

”Daripada Pemerintah Inggris mendorong imunisasi Covid-19 untuk anak-anak, lebih baik diprioritaskan mengirim vaksin kepada negara-negara yang membutuhkan. Khawatirnya jika kesenjangan vaksin global masih terjadi, akan ada mutasi galur-galur baru di negara-negara ini yang mungkin tidak bisa diatasi oleh vaksin yang tersedia sekarang,” tutur Gilbert.

Hak kekayaan Intelektual Vaksin Oxford atau Astra Zeneca menjadi milik Universitas Oxford

Kesetaraan vaksinasi dengan Hak Kekayaan Intelektual

Dalam wawancara dengan BBC pada April 2020, Gilbert menegaskan, hak kekayaan intelektual (HKI) vaksin Oxford/AstraZeneca milik Universitas Oxford. Ia dan koleganya ingin vaksin itu disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Bahkan, dalam wawancara itu, Gilbert mengatakan, belum ada kepastian Inggris akan memperoleh hasil produksi pertama karena bisa saja justru dikirim ke negara-negara yang lebih memerlukan. Vaksin ini lalu diproduksi secara massal oleh perusahaan AstraZeneca.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi G-7 dibahas mengenai penangguhan HKI semua merek vaksin Covid-19. Perusahaan AstraZeneca termasuk yang enggan melepas paten dan royalti itu. Akan tetapi, Gilbert beserta Vaccitech yang memegang sebagian dari HKI terus mendorong penangguhan.

Saat saya divaksin Astra Zeneca di Puskesmas Palmerah, Jakarta pada tanggal 16 Juni 2021. 
Upayanya tidak sia-sia. Sekarang, selain di Inggris, vaksin itu juga diproduksi oleh Serum Institute di India dan Siam Bioscience di Thailand. Terdapat pula sejumlah negosiasi terkait kemungkinan memproduksi vaksin ini di salah satu negara di Benua Afrika.

Atas prinsipnya ini, Gilbert mendapat penghormatan secara global, termasuk dari penonton dan orang-orang yang hadir di turnamen Grand Slam Wimbledon.

Sarah Catherine Gilbert
  • Lahir: Kettering, Inggris, 1962
  • Pendidikan:
  • S-1 Biologi Universitas East Anglia
  • S-2 dan S-3 Biokimia di Universitas Hull
  • Pascadoktoral Vaksinologi di Universitas Oxford (1994)
Aktivitas/pekerjaan:
  • Akademisi tetap Universitas Oxford (1999)
  • Salah satu pendiri Vaccitech Universitas Oxford
Pencapaian:
  • Pengembang vaksin influenza universal
  • Pengembang vaksin AZD1222 yang kemudian menjadi vaksin Covid-19 Oxford/AstraZeneca
  • Penghargaan:
  • Anugerah Dame of the British Empire Juni 2021
  • Anugerah Medali Pangeran Albert Maret 2021
  • Anugerah Putri Asturia Spanyol di Bidang Penelitian Sains tahun 2021

Vaksin membantu membentuk mengenali virus dan tubuh akan membentuk antibody untuk melawan virus
Berkat penemuan vaksin oleh team dari Oxford University, banyak jiwa yang terselamatkan dan sepertinya penelitian terus berlanjut untuk menemukan Vaksin yang lebih cocok.

Covid 19, sepertinya akan seperti Flu atau influenza, lambat laun dengan berjalannya waktu, semua orang akan terinfeksi, tapi dengan adanya Vaksin, maka antibody akan terbentuk dan mampu menangkal serangan Covid 19.

  

  



Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to " Sarah Catherine Gilbert, Kajian Penemu Vaksin Astra Zeneca"

  1. virus influenza bermutasi sangat cepat. Penyakit ini tidak hanya bisa menulari manusia, tetapi juga binatang. Bahkan, binatang yang mengidap influenza bisa menyebarkannya ke manusia. .... Di negara kita penyakit ini masih dianggap ringan dan sepele. He he..... Berbicara masalah hasil pencapaian Sarah Catherine Gilbert dalam penelitiannya, saya rasa mungkin Anak Indonesia juga punya kemampuan seperti dia. Barangkali belum mendapat kesempatan dan perhatian saja. Bagimana bisa anak bangsa ini berkembang, Baru saja mereka mulai bergerak, udah dihujani kritik bernada kurang elaok oleh pihak-pihak yang kurang mau diajak maju. He he ... maaf, Pak Eko si nenek ndeso ngajak bergosip.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siap Bu Nur, bener. ternyata ada orang Indonesia yang juga berjasa dalam menciptakan Vaksin ini. Dan infonya Vaksin yang diproduksi oleh Biofarma juga sudah disetujui oleh WHO. Salam Sehat Bu.

      Delete

Terima kasih atas kunjungan teman teman, semoga artikel bermanfaat dan silahkan tinggalkan pesan, kesan ataupun komentar.

Popular Posts