Akulturasi Kekayaan Kuliner Negeri, Bandung, Jawa Barat

 Seri Jendela Kuliner

Kuliner dan Akulturasi

Saya tertarik dengan tulisan yang dimuat di harian Kompas, Sabtu, 26 juni 2021, di Jendela dengan judul :

”ONTBIJT” Sarapan Roti Mentega dan Susu DAN Nasi Lauk Pauk ”RIJSTTAFEL”, Akulturasi kekayaan KULINER NEGERI

Akhir abad ke-19 kerap disebut awal masa emas bagi banyak daerah di Hindia Belanda, termasuk Bandung. Beragam kemudahan aturan dan transportasi mendukung terjadinya akulturasi budaya Eropa-Nusantara dalam beragam hal, termasuk kuliner.

Pada Akhir abad ke-19, warga pribumi mulai mengenal istilah ontbijt atau sarapan roti, mentega, dan susu. Sebaliknya, makan siang orang Belanda tidak lagi minim bumbu dan monoton. Mereka mulai mau menyantap nasi beserta beragam lauk pauknya yang dikenal dengan nama rijsttafel.

Kedatangan orang Eropa, terutama Belanda, melatarbelakangi akulturasi budaya itu. Selepas tanam paksa tahun 1870, para pengusaha swasta diizinkan menyewa lahan untuk menanam teh, kopi, dan kina, termasuk di dataran tinggi Bandung. Preangerplanters, begitu mereka kemudian disebut.

Akan tetapi, semuanya bukan perkara mudah. Tidak mudah bagi orang Eropa hidup terasing di negeri orang yang terpencil. Mereka butuh hiburan yang mirip di negara asal agar betah tinggal lama. Di masa itu, pilihan memanjakan diri tidak banyak. Dalam Bandung, Citra Sebuah Kota, Robert Voskuil menyebutkan Braga menjadi tempat utama mengobati rindu Preangerplanters pada tanah airnya. Di sana ada bioskop, rumah dansa, toko mode terkini, dan restoran yang berusaha menarik pengunjung sebanyak mungkin.



Salah satu yang berusaha mengais rezeki dari kerinduan itu adalah L van Bogerijen. Sudarsono Katam dalam buku Produsen Ontbijt Walanda Bandoeng” mengatakan, L van Bogerijen mendirikan restoran Maison Bogerijen di perempatan Jalan Braga tahun 1918.

Salah satu andalannya adalah menu sarapan. Kue seperti tompoesjes, ontbij tjoek, dan booterstaf produksi perusahaan roti Valkenet, banyak dicari pelanggan.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda De Fock (1921-1926) salah satu pelanggannya. 

De Fock pernah meminta Maison Bogerijen menyediakan resepsi gala makan malam di Residen Yogyakarta dan Keraton Sultan Yogyakarta.

Acaranya sukses dan atas jasanya, restoran itu lantas diberikan Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Semakin ramai, Maison Bogerijen pindah ke tempat yang lebih luas di ruas Jalan Braga tahun 1923.

Di tempat baru, namanya semakin harum. Pada 15 April 1925, rumah makan ini diakui sebagai perusahaan pemasok utama kuliner Ratu Belanda.
Dengan status itu, Maison Bogerijen diberi izin membuat kue khas Kerajaan  Belanda, mulai dari Koningin Emma Taart dan Wilhelmina Taart. Lambang kerajaan Belanda yang dipasang di muka restoran menjadi buktinya.

Masyarakat umum, meski jumlahnya terbatas, juga bisa menikmati sajian kulinernya saat L van Bogerijen membuak pabrik roti sendiri tahun 1926. Pemasok susu, salah satu bahan utama roti, diperkirakan berasal dari peternakan Bandung Selatan dan Bandung Utara.

Pabrik itu dikenal yang terbaik di seantero Bandung. Bahan bakarnya menggunakan gas dengan jumlah pekerja mencapai 130 orang.

Bagi yang segan makan di restoran, warga sekitar Braga bisa membelinya di bagian belakang bangunan. Ada juga jasa pengiriman menggunakan sepeda bagi pelanggan yang tinggal tak jauh dari Braga. Cara itu diyakini semakin mempulerkan roti bagi warga Bandung apa pun status.

Berjalan lebih dari 50 tahun, pengiriman itu dihentikan tahun 1980-an. Dalam Braga, Jantung Parijs Van Java, Ridwan Hutagalung danTaufaanny Nugraha mengatakan, dengan dalih antikolonial Pemerintah Indonesia, bangunan asli Maison Bogerijen juga dirombak tahun 1960.

Sisanya hanya tungku pembuatan oven dan pipa gas. Kini, masih berdiri di tempat yang sama, restoran ini bernama Braga Permai. Masih mempertahankan sebagian kue andalan zaman dulu, makanan seperti nasi goreng disajikan untuk memanjakan lidah pelanggan.

Kuliner susu dan produk olahannya sebagai teman roti saat sarapan juga bermunculan. Sebelum tahun 1930, ada 15 perusahaan susu besar di Bandung dan Cimahi.

Semuanya bergabung dalam Bandoengsche Melk Central(BMC) demi menjamin kualitas susu sapi. Dengan sistem pasteurisasi, BMC menjadi pabrik pengolahan susu tercanggih di zamannya sejak berdiri tahun 1925. Hingga kini, BMC masih beroperasi.

Dari BMC juga beragam produk susu mulai beragam. Susu cokelat, mentega, es krim, dan susu tepung bayi mulai akrab di lidah warga Bandung dan daerah lain di Priangan.

Simak jadwal makan Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah V (1920-1931). ”Dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, Nina Lubis menyebutkan, Wiranatakusuma V sarapan roti atau nasi setiap pukul 07.00 atau pukul 08.00. Minuman yang dihidangkan adalah ovomaltin dengan susu. Dia tidak terlalu
suka makanan berat Eropa.

Bupati Garut RAA Musa Kartalegawa (1929-1944)juga suka roti dan susu untuk sarapan. Dia bahkan menyukai makanan Eropa, seperti macaronischoutel dan bistik.

Selain itu, kue-kue Eropa sudah lazim disajikan para menak bukan bupati. Menu panekoek, poffertjces, dan kue keju disajikan. Saat Lebaran, makanan kaleng, seperti kornet dan ikan salem, menjadi menu utamanya.

Pernah menjadi makanan mewah di tempo dulu, roti dan susu kini jadi menu lazim untuk sarapan.

Kemewahan ”rijsttafel” Sejatinya, bukan pribumi saja yang menyerap budaya kuliner baru. Orang Eropa ternyata juga kepincut kuliner lokal. Satu dari sekian banyak hal yang terkenal adalah rijsttafel. Fadly Rahman dalam Rijsttafel, Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 menyebutkan, rijst berarti nasi dan tafel artinya meja atau makna kiasan dari hidangan.

Komposisi pada umumnya adalah nasi dengan tambahan kuah, sayuran, daging, ikan laut, ikan air tawar, telur, dan tidak lupa sambal. Dia mengatakan, rijsttafel berasal dari pergulatan panjang orang Eropa dan pribumi di Hindia Belanda. Mulai dari keterbukaan ekonomi akhir abad ke-19, kebergantungan pada perempuan pribumi, hingga gengsi pejabat. Keinginan orang Belanda menjadi bagian budaya seni boga adiluhung ikut melatarbelakanginya.

Akan tetapi, lebih dari rasa yang kaya rempah-rempah, sisi seremonial mewah rijsttafel memegang peran penting menaikkan gengsi makanan pribumi. Dari sana, pesonanya dilirik pengusaha hotel pada awal tahun 1920-1930. Kala itu, bisnis hotel dan pariwisata sedang tumbuh. Pengelola butuh inovasi untuk menghadapi persaingan ketat.

Haryoto Kunto dalam buku SeabadGrand Hotel Preanger 1897-1997 menyebutkan, rijsttafel dapat dinikmati di Hotel Preanger, Maison Bogerijen, dan Societet Concordia, yang semuanya berada di Jalan Braga. Untuk menambah kebutuhan sumber daya manusia, didirikan Sekolah Kepandaian Puteri untuk memberi pelajaran dan keterampilan memasak.

Pada awalnya, hidangan disajikan pada meja bulat dengan bagian tengah berlubang untuk meletakkan nasi dalam wadah. Di bawahnya disediakan perapian untuk menjaga nasi tetap hangat. Fadly menambahkan, Savoy Homann juga getol memperkenalkan rijsttafel dan berhasil menjadi daya tarik baru. Mereka menawarkan pengalaman makan di tengah arsitektur bangunan dan interior mo-
dern di masa itu.

Penyajiannya bak raja-raja. Dalam satu kesempatan nasi disajikan bersama 20-30 hidangan yang akan diberikan satu per satu. Dengan jumlah sebanyak itu, butuh puluhan pelayan untuk menyajikannya satu per satu.

Tidak heran apabila dalam satu sesi bisa dibutuhkan 3-4 jam. Pamor rijsttafel meredup jelang penjajahan Jepang.Banyak orang Belanda angkat kaki akibat Perang Dunia II. Hotel yang menjadi etalase rijsttafel menjadi bagian dari markas
militer Jepang.

Savoy Homann, misalnya, menjadi asrama opsir Jepang dan banyak peralatannya rusak berat. Sejak itu, rijsttafel tidak lagi jadi menu utama di hotel dan rumah makan kelas atas. Akan tetapi, rijsttafel tidak sepenuhnya mati. Hingga kini, banyak muncul restoran menjual menu itu di Belanda. Di Den Haag, misalnya, tak sulit mencari menu dan penyajian ala rijsttafel.

Banyak restoran makanan Indonesia di sana dan menyediakannya sebagai menu itu. Apabila ingin merasakan nasi, sate, beragam sayuran, dan sup, dalam satu meja, tinggal pesan, semuanya tersedia. Belakangan, Pemerintah Indonesia juga getol melakukan diplomasi budaya dengan Belanda lewat sajian rijsttafel.

Baik ontbijt dan rijsttafel, keduanya sama-sama mengisi kekayaan budaya meski dengan jalan berbeda. Bisa jadi kini sajiannya dianggap biasa. Namun, kehadirannya terbukti bertahan lama hingga kini menjadi salah satu fondasi kuliner negeri ini.

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Akulturasi Kekayaan Kuliner Negeri, Bandung, Jawa Barat"

  1. Nama makanannya susah disebut ya. Kalo pilih menu, mungkin saya nunjuk gambarnya doang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya bener, nama makanannya susah, padahal cuma roti dengan mentega, susu dan nasi plus lauk pauk saja lho

      Delete

Terima kasih atas kunjungan teman teman, semoga artikel bermanfaat dan silahkan tinggalkan pesan, kesan ataupun komentar.

Popular Posts