Indonesia dari Seberang Batas, Melintas Selat Torres, Australia di Depan Mata hingga Jejak Berdarah

 Seri Cerita Perjalanan 

Indonesia dari Seberang Batas 
Cerita ke 21

Diterjang  Badai : Selat Torres - Torres Strait 

Oleh Agustinus Wibowo

Saya sangat menyukai cerita perjalanan, maka saya tampilkan cerita Mas Agustinus Wibowo, supaya saya bisa membaca kapan saja saat saya pengin membacanya.

Selat Torres

Pulau Saibai milik Australia hanya sekitar tiga kilometer jauhnya di selatan pesisir daratan utama PNG.

Selat Torres, Torres Strait, Merauke, PNG, Australia
Saat  menuju desa-desa pesisir Papua Niugini di dekat perbatasan Indonesia, perahu motor yang saya tumpangi dilumat gelombang dan badai ketika melintasi Selat Torres.

Kepulauan Selat Torres - Torres Strait adalah bagian unik dan indah dari Australia, terbentang di selat antara Semenanjung Cape York dan Papua Nugini. Mereka terdiri dari sekitar 274 pulau yang kaya akan sejarah, dan budaya serta tradisi yang berbeda.

Selat Torres. Foto Redbull.

 The Torres Strait Islands, Selat Torres memisahkan PNG di utara dan Australia di selatan, menghubungkan Laut Coral di timur dan Laut Arafura di barat. Laut ini terbilang dangkal, tapi ombaknya tinggi dan ganas, terutama pada celah sempit di sekitar desa Tureture dan Olmawata.

Di tengah badai dan ombak yang menampar wajah, Sisi menjerit ketika melihat mesin perahu satunya dalam konvoi kami terjatuh ke laut. Para lelaki muda dari kedua perahu langsung terjun ke air yang hanya sedalam dada, untuk mengangkat mesin dan memasangnya kembali di bagian belakang perahu.



Kami hanya bisa menunggu di perahu, yang terapung tak bergerak selama setengah jam. Angin menderu, sekujur tubuh basah, semua orang menggigil. Terdengar gemeretak gigi dan keroncongan perut.

Perahu akhirnya bergerak kembali. Issaiah, operator perahu kami, membelokkan perahu ke selatan, ke arah laut yang lebih dalam. Perahu kami seharusnya bisa bergerak lebih lincah, tapi gelombang semakin tinggi, terus menghajar perahu kami tanpa ampun.

“Ini king tide,” teriak Sisi. Pasang raja, pasang laut yang paling tinggi. “Kita seharusnya tidak nekat berangkat hari ini.” Sisi menangis, sembari terus memanggil nama Yesus.

Sedangkan Marcella, bersandar pada tumpukan kargo dan tertidur lelap.

Ombak mulai mereda setelah kami melintasi desa Mabudauan di sore hari. Sekitar dua jam kemudian, gairah saya membuncah, karena sebentar lagi bisa melihat Australia.

Sepanjang perjalanan ini, saya berulang kali bertanya sambil menunjuk ke pulau apa pun yang terlihat di selatan, “Apakah itu Australia?” Setelah terus-menerus menggeleng, mereka akhirnya mengangguk. “Ya, itu Australia!”

Pulau Saibai milik Australia hanya sekitar 3 kilometer jauhnya di selatan pesisir daratan utama PNG. Saibai adalah pulau datar sepanjang 20 kilometer, didominasi tanaman bakau, dihuni 380 jiwa. Pulau yang sering dilanda banjir dan pasang besar itu merupakan lokasi utama warga desa pesisir PNG untuk berbelanja dan menjual hasil laut.

Itulah perbatasan. Alam di dua sisi garis ini mungkin terlihat tak berbeda. Tapi di seberang sana itu  adalah negeri berbeda, hukum berbeda, dunia berbeda. “Mari kita ke Saibai, biar orang Australia masukkan orang Indonesia yang satu  ini ke dalam kalabus,” kata Sisi sambil tertawa. Kata itu berarti penjara.

Berdampingan dengan Saibai adalah pulau Australia lain bernama Dauan, berpenduduk 170 jiwa. Dia tampak sebagai gunung segitiga yang menjulang lancip.

Sedangkan di seberang Saibai dan Dauan,  di sisi PNG adalah desa Sigabaduru (disingkat “Siga”). Ini kampung besar dengan sekitar 1.000 penduduk, tapi dari perahu yang terlihat hanya satu gubuk di kejauhan.

Matahari sudah hampir tenggelam. Kami belum  juga sampai  di Buzi, perhentian pertama kami, yang juga  kampungnya Marcella. Buzi masih sekitar dua jam perjalanan  dari Siga. “Tidak bisakah kita bermalam di Siga?” saya bertanya.

“Kamu mau mati?” kata Sisi pada saya, “Di sini banyak alkohol, orang mabuk, raskol! Mereka akan bunuh kamu!”

Saya tak tahu harus seberapa percaya. Tapi saya juga tak berhak bersuara apa-apa, karena saya tak lebih dari seorang asing yang hanya membayar ongkos penumpang.

Kami meninggalkan Siga.  Lalu dalam kegelapan total, kami melanjutkan perjalanan ke barat. Kegelapan ini mencekam. Di utara, pepohonan bakau yang  menutup  pesisir daratan utama PNG telah menyatu dengan gelap angkasa. Sedangkan gelombang laut begitu tenang. Tapi terlalu tenang.

Justru di sinilah tempat paling bahaya. Kami berada di selat sempit antara daratan utama di utara dan satu pulau kecil di selatan, yang tak sampai dua kilometer jauhnya. Laut terlalu dangkal, dengan hamparan koral yang sangat berbahaya dilintasi, apalagi ketika laut sedang surut begini.

Marcella mengeluh atas kenekatan ini. “Perahu bisa menabrak karang, lalu bocor dan tenggelam,” katanya. “Apalagi di sini juga banyak buaya.”

Saya cuma ingin perjalanan ini segera berakhir. Saya menengok ke kiri, ke arah selatan. Terlihat taburan titik-titik cahaya yang berkilauan terang, bagai kota besar yang muncul terlalu mendadak.

“Apa itu?” saya bertanya.

“Itu Boigu, Australia,” kata Marcella.

Sedangkan di sebelah kanan, di utara, hanya ada dua atau tiga titik cahaya lemah dan terkadang menghilang, seperti cahaya lilin yang diterpa angin. “Dan itu?”

“Ber, PNG. Kita tidur di sana malam ini,” kata Sisi.

Kami merapat ke Ber yang lebih mirip sebuah desa primitif yang tepat di seberang kota metropolis.

Indonesia dari Seberang Batas 

Cerita ke 22

Australia di Depan Mata : Membeli Mie Instan Indonesia di Australia dari PNG

Jarak sebuah takdir bisa jadi hanya 8 kilometer. Itulah jarak yang memisahkan Ber dari Boigu, memisahkan Papua Niugini dari Australia, memisahkan salah satu negeri termiskin dari salah satu negeri terkaya di dunia.

Ber, PNG, adalah desa kecil dengan sekitar 200 penghuni, terdiri atas 24 rumah yang semuanya berupa rumah gubuk berpanggung yang tersebar jarang-jarang. Satu rumah dihuni 10, 12, atau bahkan 30 orang. Tak ada yang punya sepatu. Baju mereka sangat kumal dan kotor karena tidak ada baju ganti lain. Di sekeliling saya ada bocah-bocah kurus berperut buncit, bocah berkaki O, bocah dengan punggung melengkung seperti tanda tanya.

Permukiman di Ber, Papua Niugini
Mereka tidak perlu hidup semiskin ini. Australia terpampang tepat di depan dan penduduk Ber boleh menyeberang ke sana, hanya dengan membawa surat dari kepala desa. Di sana, mereka bisa menjual ikan kakap putih (barramundi) dengan harga bagus, 30 dollar Australia seekor. Tapi, mereka jarang menangkap ikan, dan hanya melakukannya ketika benar-benar tidak ada makanan.

Sebagai orang asing, saya tidak boleh menyeberang ke Boigu, yang merupakan bagian Kepulauan Selat Torres, Queensland, Australia. Karena itu, saya cuma bisa mengumpulkan serpihan fragmen tentang Boigu dari cerita orang-orang Ber.

Boigu, kata mereka, adalah desa modern yang punya pertokoan dan bandara. Rumah di Boigu juga rumah panggung seperti di Ber, tapi dari bahan permanen dan lebih mengilap. Penduduk aslinya hidup bersama pendatang kulit putih.

Warga asli Boigu adalah orang Melanesia sebagaimana orang PNG. Tapi, seabad lebih mereka hidup di bawah kontrol Australia.

Orang asli Boigu setiap bulan mendapat uang subsidi dari Pemerintah Australia. Setiap tahun, Australia menganggarkan sekitar 30 miliar dollar Australia untuk mendukung kesejahteraan sekitar 700.000 warga aslinya, termasuk penduduk Kepulauan Selat Torres.

Anak-anak di Ber, Papua Niugini
Sebenarnya orang pribumi Boigu termasuk masyarakat kelas bawah Australia, tapi di mata orang Ber, mereka adalah majikan yang kaya raya. Orang Ber sering pergi ke Boigu untuk menjadi pekerja harian melayani orang asli Boigu.

Australia dan PNG memiliki perjanjian perbatasan khusus yang mengizinkan warga desa-desa perbatasan PNG untuk mengunjungi pulau-pulau terluar Australia di Selat Torres. Desa-desa yang mendapat fasilitas ini disebut treaty village (”desa perjanjian”), dan Ber termasuk yang beruntung.

Tapi, Australia menerapkan aturan ketat terhadap perjalanan lintas batas. Dilarang membawa orang yang bukan warga treaty village. Jika melanggar, apalagi berulang, mereka bisa dimasukkan daftar hitam.

Australia juga memiliki aturan karantina yang ketat, melarang segala tanaman dan hewan dari luar dibawa masuk ke wilayahnya. Orang Ber cuma diizinkan membawa barang kerajinan, kepiting, kerang, dan ikan kakap untuk dijual di Boigu. Petugas Australia akan naik ke perahu-perahu yang datang dari PNG dan menggeledah semua barang dengan teliti.

Petugas bea dan cukai Australia akan mengenali orang yang berangkat dari Ber, Papua Niugini, antara lain dengan melihat kaki mereka yang dipenuhi lumpur.

Siang hari, Sisi dan Marcella akan berangkat ke Boigu untuk berbelanja. Saya nitip untuk membeli gula dan beberapa bungkus Indomie. Ternyata perut Indonesia saya masih butuh makanan kampung halaman, di tengah petualangan di daerah pesisir PNG yang makanan utamanya ketela dan ubi ini. Sisi bilang, Indomie tersedia di toko kelontong milik orang Timor Leste di Boigu, seharga 1.50 dollar Australia sebungkus.

Saya terkesima merenungkan betapa internasionalnya perdagangan ini! Seorang Indonesia di PNG hendak membeli mi instan produk Indonesia di Australia, yang dijual orang Timor Leste.

Tapi, realitas globalisasi di sini tak semegah namanya. Petugas bea cukai Australia cukup melihat kaki orang-orang seperti Sisi dan Marcella yang bersimbah lumpur itu dan langsung tahu bahwa mereka pasti berangkat dari Ber.

Ketika mereka pergi, saya berbalik mengikuti para lelaki Ber ke hutan untuk berburu. Mereka membawa busur dan panah.

Warga Ber berburu untuk mendapatkan makanan

Kaki telanjang saya belum terbiasa menginjak bebatuan dan kerikil, membuat saya meringis hampir pada setiap langkah. Puluhan nyamuk dan belasan lintah terlihat sangat menikmati darah saya.

”Ada ular di sini?” saya bertanya.

”Kadang-kadang,” kata seorang bocah berusia 12 tahun. ”Kalau kamu ketemu ular hitam Papua, maka habislah. Beberapa detik saja kamu akan mati. Tapi, kalau gigitan ular kecil, tinggal menyeberang ke Boigu untuk diobati.”

”Bukankah biayanya mahal?” tanya saya.

”Australia negara baik, semua pengobatan gratis,” dia berkata. ”Begitu sampai di rumah sakit di Boigu, kamu akan diterbangkan ke Thursday Island atau kota Cairns, semua biaya mereka yang tanggung.”

Begitu luar biasanya Australia yang sampai memberi pelayanan kelas satu seperti itu bagi warga desa miskin di negara tetangganya. Border treaty adalah anugerah yang membuat warga desa Ber lebih merasakan kasih sayang Australia.


Indonesia dari Seberang Batas 

Cerita ke 23

Rindu Terpisah Garis Batas : Membeli Mie Instan Indonesia di Australia dari PNG

Mama Pine, seorang perempuan paruh baya warga Desa Ber, Papua Niugini, meratapi garis batas yang membuatnya menderita. Senyumnya hanya berupa sekilas sungging dan matanya selalu menatap ke tanah, saat dia bercerita tentang anaknya yang sudah bertahun-tahun tak pulang dari seberang batas sana.

Tanggal itu tak akan pernah dia lupakan, 6 Maret 2004.  ”Aku pergi, Papa, Mama,” kata sang anak meninggalkan desa di hari itu. ”Aku pasti kembali.”

Tapi Mama Pine tahu betul, ini perpisahan yang tidak sebentar. Tiap malam Mama Pine berpikir tentang dia, bermimpi tentang dia. Hingga hari ini pun, Moris Jaea tak pernah lagi kembali.

Sepertinya kepahitan itu membuat memori Mama Pine tinggal sepotong-sepotong. Emosi yang terlalu kuat membuat saya kesulitan menemukan kronologi kejadian itu dari kisahnya.

Sebaliknya, suaminya, Saba Jaea—seorang lelaki tua kekar dengan rambut memutih dan gigi memerah—lebih jelas dan tenang memandang memori tentang anaknya. Moris, anaknya, hitam dan tinggi seperti dirinya. Badan Moris gemuk dan ada penanda di atas mata kirinya. Sifat Moris yang utama adalah humoris dan suka membantu orang.

Pada 2003, datang seorang lelaki Papua dari Merauke bernama Geri, yang umurnya sekitar empat puluh tahun. Pemuda Moris sering membantu Geri untuk menebar jala di laut, juga membangun rumah panggung—yang sekarang sudah hampir bobrok dan menjadi tempat menginap saya di desa ini. Geri menyayangi Moris, mengajaknya ikut ke Merauke untuk membantu bisnisnya. Moris setuju. Keluarga pun memandang Geri sebagai seorang wantok sesama Melanesia walaupun berbeda negara sehingga merelakan anak mereka berangkat bersamanya.

Pada awalnya, Moris masih mengirim beras dan singkong dari Indonesia ke Ber. Tetapi setelah tiga tahun, kiriman itu semakin jarang. Sekarang, sama sekali tak ada kiriman apa-apa.

Papa Jaea dan Mama Pine tidak tahu bagaimana hubungan Moris dengan Geri sekarang. Mereka hanya dengar, Moris sudah menikah dan bekerja sebagai pegawai imigrasi di Kondo. Itu adalah titik terakhir perbatasan Indonesia yang berjarak sekitar seratus kilometer di tenggara kota Merauke. Mereka yakin, Moris sekarang sudah menjadi orang Indonesia, sudah berbeda dengan para keluarga yang tinggal di Desa Ber, sudah merasa terlalu terhormat untuk pulang ke kampung halaman yang miskin ini. Bahkan untuk sekadar berkirim kabar pun dia enggan.

Itulah sebabnya, Januari tahun 2014, Mama Pine dan Papa Jaea pergi ke Indonesia untuk mencari Moris, dengan menumpang perahu milik seorang kenalan. Mereka sebenarnya tidak boleh menyeberang ke Indonesia karena Ber, kampung mereka, bukan kawasan yang ada dalam Perjanjian Lintas Batas Tradisional RI-PNG. Tapi mereka punya kenalan di Bula, desa perbatasan PNG yang terdekat dari Indonesia, sehingga bisa mendapat selembar surat pas tanpa biaya.

Perahu mereka melaju sampai ke Merauke. Besarnya kota itu sungguh membuat mereka ketakutan. Mobil dan sepeda motor di mana-mana. Dunia yang sama sekali berbeda, penuh orang kulit putih dan kulit hitam yang bicara bahasa Melayu yang tidak mereka mengerti. Tanpa uang, mereka hanya terkurung di rumah seorang kerabat sesama orang PNG di pinggiran kota Merauke.



Berhari-hari berusaha, akhirnya mereka berhasil mengontak mertua Moris, yang berjanji akan membujuk anak itu untuk mau menemui orangtuanya. Tapi seminggu kemudian, tak kunjung ada kabar. Padahal pemilik perahu yang mereka tumpangi harus balik ke PNG.

Mama Pine memohon Papa Jaea untuk tinggal lebih lama, demi menunggu kabar dari Moris. Tapi Papa menolak, bilang bahwa kita orang miskin yang tak punya uang, hanya menumpang tanpa biaya. Mereka berkemas. Mama terus menangis saat mereka berangkat menuju perahu.

Di saat itulah, mertua Moris berlari tergopoh-gopoh, berseru: ”Jangan pergi dulu, Moris sudah naik bus dan akan datang dari Kondo!”

Tapi terlambat.

Mesin perahu sudah menyala, operator sudah menunggu dan memanggil mereka untuk bergegas. Mereka hanya bisa berangkat pulang. Sebuah perjalanan yang sia-sia.

Untuk biaya perjalanan ke Merauke, mereka membutuhkan 500 kina (Rp 2,5 juta) hanya untuk bahan bakar. Mereka perlu menangkap sekitar 200 kepiting untuk menutup biaya perjalanan ini.

Papa Jaea menilai Moris mustahil pulang karena sudah nyaman di Kondo. Namun dia masih berharap Moris mau pulang ke tempat asalnya.

Saya menawarkan bantuan sebagai penyampai pesan jika mereka menginginkan. Saya akan berusaha ke Kondo untuk mencari Moris, siapa tahu dia tergerak untuk pulang.

Saya merekam mereka dengan kamera video. Mama terus meminta maaf karena keterbatasan mereka yang tak sanggup membeli minyak sehingga tak berdaya menemui anaknya di seberang negeri sana.

Sedangkan dalam surat berupa coret-coretan di lembar buku catatan saya, mereka menulis: ”Moris, we miss you.”

Indonesia dari Seberang Batas 

Cerita ke 24

Bermalam  di Alam Liar :  PNG

Dalam konsep Melanesia, tanah hanya bisa dimiliki suku dan tak mungkin diperjualbelikan.

Sore hari, perahu kami baru beranjak meninggalkan Ber, Papua Niugini, menuju Tais, kampung halaman Sisi dan orang-orang lainnya dalam perahu, sekitar 30 kilometer jauhnya.

Tais PNG
Laut tidak seganas kemarin. Ketika hari belum benar-benar gelap, kami  berhenti berlayar, mencari tempat bermalam di alam liar, dan melanjutkan perjalanan esok pagi.

Ketika kami merapat di pesisir pantai yang gelap, ada perahu lain yang bersandar di pantai. Ada orang lain.

Suasana mendadak  tegang. Sisi langsung berbisik, menyuruh saya tak bersuara sama sekali. ”Di sini banyak orang jahat, mereka bisa membunuhmu.”

Para lelaki di perahu kami lalu berteriak-teriak dalam bahasa daerah mereka, bahasa Na, ke arah pantai. Tak lama kemudian, kami mendengar teriakan balasan dari arah pantai, juga dalam bahasa daerah.

Ini adalah prosedur umum untuk memastikan tingkat keamanan. Dari bahasa, mereka bisa mendeteksi lawan bicaranya itu kawan atau bukan.

Bangsa Melanesia memiliki keanekaragaman bahasa yang luar biasa. Di sisi Papua Indonesia, terdapat sekitar 250 bahasa, sedangkan di PNG terdapat 840 bahasa. Saking ekstremnya keberagaman bahasa di daerah ini, desa-desa yang berdekatan bisa bicara bahasa yang sama sekali berbeda.

Misalnya, dari Pulau Daru sampai ke Mabadauan adalah penutur bahasa Kiwai. Berikutnya Sigabaduru, Ber, dan Buzi adalah pengguna bahasa Agob. Desa berikut, Tais dan Mari, adalah bahasa Na.

Lantas, mengapa persamaan bahasa begitu penting? Untuk memahami ini, kita perlu memahami hubungan antara bahasa, suku, dan tanah bagi orang Melanesia.

Penutur bahasa yang sama berarti berasal dari suku yang sama, yang juga berarti mereka punya leluhur yang sama, tradisi yang sama, dan dianggap senantiasa berada di pihak yang sama. Singkat kata, adalah kawan. Ini dasar tradisi kesukuan yang disebut wantok (dari bahasa Inggris one talk, ’satu bahasa’).

Bangsa Melanesia juga memiliki konsep tanah yang unik. Orang luar mungkin melihat bumi Papua sebagai tanah luas yang liar, rimba belantara yang kosong tanpa manusia. Tapi, semua tanah itu sebenarnya ada pemiliknya, sekosong dan seliar apa pun kelihatannya.

Pemilik tanah adalah suku-suku yang bertebaran di seluruh negeri. Dalam konsep Melanesia, tanah hanya bisa dimiliki oleh suku. Individu tidak bisa memiliki tanah sehingga tanah tidak mungkin diperjualbelikan. Tanah hanya bisa disewakan dan itu pun harus dengan persetujuan semua anggota suku.

Bagi sebuah suku, tanah adat itu sangat penting. Di tanah adat itu mereka berladang dan berburu. Di sana pula leluhur mereka dimakamkan sehingga tanah itu harus dibela oleh semua anggota suku. Tanah adat juga keramat karena ada tempat-tempat suci yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Sebagaimana negara, tanah adat suku juga punya garis batas, yang tidak boleh sembarangan dilanggar orang luar. Urusan garis batas tanah adat ini bagi orang Papua sangatlah serius. Suku Dani yang menghuni Lembah Baliem di sisi Papua Indonesia, misalnya, biasa membangun barisan menara pengawas dari kayu setinggi sampai 10 meter di perbatasan tanah adat masing-masing. Para lelaki anggota suku bergiliran berjaga di puncak menara itu, mengawasi kalau terjadi pelanggaran batas wilayah oleh anggota suku lain.

Bagi penduduk setempat, di dalam benak mereka tergambar jelas peta mental: sungai ini milik siapa, pohon besar ini di tanah siapa, gunung itu kepunyaan suku apa. Saat berburu atau bepergian melintasi alam liar, mereka sangat hati-hati agar tidak menginjak tanah milik suku lain. Mereka lebih memilih jalan memutar yang sulit dan jauh daripada melewati jalan pintas yang mudah, tapi melanggar tanah suku lain.

Pelanggaran tanah adat bisa membawa akibat yang sangat serius. Yang paling ringan mungkin akan menimbulkan perkelahian, tapi yang berat bisa menyebabkan penyiksaan, pembunuhan, bahkan perang suku. Terlebih lagi di pedalaman terpencil, di mana polisi atau aparat negara tidak terlihat, hukum suku berlaku sangat kuat.

Tentang orang di pantai gelap tadi, mereka rombongan keluarga dari Tais,  mengantar satu lelaki muda yang terluka kakinya untuk berobat di rumah sakit di Daru. Mesin perahu mereka rusak sehingga mereka terdampar di sini. Dari atas tebing kecil di dekat pantai, mereka menyorotkan senter ke arah kami, membantu kami naik menapaki tebing terjal, awal dari Pulau Strachan. Sebenarnya hanya mirip pulau karena diapit dua sungai besar, Mai Kassa dan Wasi Kussa, yang penuh buaya.

Kami mengumpulkan kayu bakar, membuat api unggun di tepi tiang-tiang kayu bekas bangunan rumah, di atas tanah datar yang diselimuti daun kering menguning. Duduk di samping api unggun, Sisi berkisah, ”Dulu sekali, Desa Tais terletak di pesisir Pulau Strachan sini. Tetapi, mereka semua pindah karena terjadi pembunuhan besar-besaran yang dilakukan para pembunuh misterius yang menguasai ilmu sihir.”

Indonesia dari Seberang Batas 

Cerita ke 25

Sejarah Berdarah :  PNG

Sejarah Berdarah

Sungguhkah kita menginginkan dunia yang tanpa garis batas, tanpa institusi negara, dan tanpa hukum?

Anak di Tais, Papua Niugini dengan panahnya.
Orang Tais semula tinggal di pesisir selatan Pulau Strachan, sekitar 60 kilometer di timur garis perbatasan Indonesia yang dekat Merauke. Pada suatu masa, suku mereka  hampir punah oleh  perang suku dan pembantaian.

Duduk di dekat api unggun, kawan saya Sisi Wainetti yang orang Tais menceritakan peristiwa mengerikan yang didengarnya dari para orang tua di desa. Saat itu dari arah barat, dari daerah Merauke,  datang para pemburu kepala (pengayau) membantai orang-orang di pesisir Laut Arafura ini.

Tais PNG

Sisi tak tahu pasti kapan peristiwa itu terjadi. Tapi yang jelas, orang Tais tidak berdaya menghadapi para penyerbu itu.

Seorang lelaki tua dari Tais turut berbagi cerita. “Tradisi perburuan kepala itu sangat marak sebelum agama Kristen masuk ke sini,” kenangnya.

Dulu pada masa sebelum Perang Dunia II, dia bilang, perang suku masih terjadi, dan dia pernah mengalaminya. Para penyerang melontarkan tombak dari luar. Sedangkan dia sekeluarga bersembunyi di dalam rumah, sambil melepaskan panah dari sela bilah-bilah bambu dinding rumah.

Sekarang, semua itu terasa telah menjadi sejarah yang amat jauh.

Tapi tak sepenuhnya jauh.

Ketakutan orang-orang di pedalaman PNG ini saat bertemu  orang yang berbeda bahasa, terutama saat bepergian melewati alam liar, menunjukkan bahwa sejarah perang suku itu masih  lekat dalam memori, masih  memengaruhi cara mereka memandang dunia.

Bahkan sekarang pun, di Daru masih beredar rumor bahwa orang Indonesia datang menyelinap ke PNG untuk mengayau, dan tengkorak orang PNG akan digunakan sebagai fondasi gedung tinggi dan jembatan di Merauke.

Bermalam di Pulau Strachan dalam perjalanan menuju Tais, Papua Niugini
Tradisi pengayauan bukan hanya ada di Papua, tapi juga di bagian lain Nusantara. Kata “kayau” dalam bahasa Indonesia berasal dari “Ngayau”, yang merupakan tradisi sejumlah suku Dayak tertentu di Kalimantan pada masa silam. Dalam bahasa setempat, “kayau” berarti musuh.

Tradisi ini biasanya berhubungan dengan perang suku, atau kebutuhan mendapatkan tambahan kekuatan spiritual. Kepala musuh yang dipenggal digunakan dalam upacara religius, dan kemudian dipajang di rumah panjang. Terkadang ritual ini juga melibatkan kanibalisme.

Tradisi pengayauan ini mencengangkan para penjelajah Eropa abad ke-19, sehingga mendominasi tulisan mereka tentang orang Dayak. Misalnya The Head Hunters of Borneo karya Carl Bock yang terbit tahun 1882.

Di PNG, pengayauan masih terjadi hingga awal abad ke-20, termasuk di pedalaman Western Province.

Warga Tais, Papua Niugini, pergi berburu dengan membawa panah.

Sebagaimana dicatat Dr. Gunnar Landtman,  pengayauan itu terjadi antara 1870-an hingga 1910-an. Para pengayau itu disebut “Tugeri”, adalah para petarung suku Marind dari daerah sekitar Merauke, di Niugini Belanda (sekarang Papua Indonesia). Target serangan mereka adalah desa-desa di pesisir selatan Papua Inggris (sekarang PNG), juga Saibai dan Boigu di Selat Torres (sekarang wilayah Australia).

Penjelajah John Strachan,  dalam buku Explorations and Adventures in New Guinea,  menggambarkan keganasan para pengayau Marind itu ketika menyerang Boigu. Seribuan orang mengepung desa, lalu membantai warganya. Sekitar 30 dari 350 penduduk berhasil melarikan diri ke rawa, sedangkan yang masih hidup dan tertangkap diikat di kano. Para penakluk itu  memakan mereka sambil berpesta.

Letnan-Gubernur Niugini Inggris saat itu, Sir William MacGregor, memimpin patroli bersenjata dan berkontak dengan para pengayau Tugeri di Pulau Strachan pada tahun 1895. Pasukan Inggris berhasil menangkap dan menghancurkan sejumlah kano, tapi MacGregor menyayangkan dia tak bisa berbuat apa-apa terhadap orang-orang Tugeri itu. Pasalnya,  mereka dari seberang perbatasan, sehingga mereka adalah kawula Belanda yang tak tunduk pada hukum Inggris.

Serangan pengayau dari seberang perbatasan mulai mereda pada awal 1900-an, setelah Belanda membangun pos polisi yang permanen di Merauke.

Mendengar cerita tentang perang suku dan pengayauan itu, saya merasa betapa untungnya  hidup di zaman sekarang, karena  tak perlu mengkhawatirkan serangan suku lain. Juga tak perlu ketakutan kepala saya akan dipenggal orang tak dikenal sebagai sesembahan bagi dewa-dewa mereka.

Terkadang kita  mengglorifikasi masa lalu, seolah yang terjadi di masa lalu itu  serba romantis, sempurna, surgawi. Dan sering pula kita mengeluhkan keberadaan garis batas, produk sistem negara modern yang sepertinya mengungkung kebebasan. Kita memang makhluk  yang mendambakan kebebasan, jika bisa seluasnya.

Tapi sungguhkah kita menginginkan dunia yang seperti itu? Dunia yang tanpa garis batas, tanpa institusi negara dan  tanpa hukum? Dalam dunia yang bebas seluas-luasnya, setiap orang juga bebas melakukan segala hal, termasuk menyerang dan menyakiti orang  lain. Bukannya kehidupan surgawi yang akan kita dapatkan, tapi kehidupan yang penuh kekejaman, permusuhan, dan ketakutan.




Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Indonesia dari Seberang Batas, Melintas Selat Torres, Australia di Depan Mata hingga Jejak Berdarah"

  1. Membaca kisah mama si Moris membuat saya terenyuh. Serasa saya berada di posisi sang Mama. Beda tipis dengan kisah Malin Kundang. Terima kasih telah berbagi, Pak Eko.

    ReplyDelete

Terima kasih atas kunjungan teman teman, semoga artikel bermanfaat dan silahkan tinggalkan pesan, kesan ataupun komentar.

Popular Posts