Indonesia dari Seberang Batas, Guru di PNG - Nenek Moyangku Pelaut, PNG Australia Ternyata Dekat

 Seri Cerita Perjalanan 

Indonesia dari Seberang Batas 
Cerita ke 15

Lulusan Indonesia : Guru di PNG

Oleh Agustinus Wibowo

Saya sangat menyukai cerita perjalanan, maka saya tampilkan cerita Mas Agustinus Wibowo, supaya saya bisa membaca kapan saja saat saya pengin membacanya.

Papua dan PNG adalah 1 pulau besar, dan Daru berada di dekat Merauke 
Daru adalah the capital of the Western Province of Papua New Guinea , ibu kota Provinsi Barat Papua Nugini dan bekas keuskupan Katolik. Kota Daru berada di bawah yurisdiksi Daru Urban LLG.

Kotapraja ini sepenuhnya terletak di sebuah pulau dengan nama yang sama, yang terletak di dekat muara Sungai Fly di sisi barat Teluk, tepat di utara Selat Torres dan Far North Queensland di Australia.

Daru memiliki populasi tercatat 15.142 pada sensus 2011

Daru, Ibukota Provinsi Barat Papua Nugini yang berdekatan dengan Merauke 

Bahasa orang Daru adalah Kiwai (Kiwai Pesisir Barat Daya -South-West Coastal Kiwai), juga digunakan di desa-desa daratan tetangga (nama Kiwai berasal dari Pulau Kiwai sekitar 60 km timur laut di delta Sungai Fly).

Namun, pemukiman Kiwai di Daru cukup baru. Penduduk asli, Hiamo, adalah Penduduk Kepulauan Selat Torres Barat Tengah - Western Central Torres Strait Islanders   yang berasal dari Yama di Selat Torres. Dengan penjajahan Kiwai, kelompok utama orang Hiamo pindah ke Selat Torres Selatan dan menetap di kelompok Muralag (Dalam).

Agama di Daru adalah agama katolik. Katedral St. Louis de Montfort-nya adalah 'tahta kedua' dan bekas katedral 'penuh' dari Keuskupan Katolik Roma Daru-Kiunga berganti nama pada tahun 1987, awalnya Prefektur Apostolik Daru sejak tahun 1957, dipromosikan keuskupan pada tahun 1966

Indonesia telah mengubah hidup Mekha. Guru di Daru High School ini membuka kelas pelajaran bahasa Indonesia di sekolahnya. Ikuti cerita perjalanan Agustinus Wibowo di Papua Niugini dalam ”Indonesia dari Seberang batas.”

Mekha Eho'o saat mengajar di Daru High School, Western Province, Papua Niugini. Kompas 12 Juli 2012
 

Tuan rumah saya di Daru, Mekha Eho’o, adalah seorang guru matematika di Daru High School, salah satu sekolah terbaik di Western Province, Papua Niugini. Dia lelaki yang tinggi dan tambun, berusia 45 tahun. Pertama kali bertemu, dia langsung memeluk saya, menyambut dengan suara tawa berdesis panjang  dan berkata, “Mas, iso ngomong Jowo?

Saya mendapat kontaknya dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Port Moresby. Hubungan  Mekha dengan Indonesia ternyata jauh lebih dalam dari yang saya kira.

Sepuluh tahun lalu, Mekha  mendapat beasiswa Dharmasiswa untuk belajar bahasa Indonesia di Universitas Sebelas Maret,  Solo. Dia kemudian mengambil S-1 pendidikan bahasa Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta. Sebentar lagi, rencananya dia berangkat ke Palembang, karena mendapat beasiswa S-2 linguistik di Universitas Sriwijaya.

Mekha Eho'o memberi makan kucing yang ada di rumahnya di Daru, Western Province, Papua Niugini

Mekha mengundang saya menginap di rumahnya, sekitar 100 meter dari sekolah tempat dia mengajar. Rumah panggung itu terbuat dari kayu dengan lantai berlubang-lubang, diselimuti aroma seperti kotoran kucing. Kertas bertaburan di meja besar, buku-buku bertebaran, peta negara PNG yang tertempel di dinding terkelupas satu sudutnya.

Mekha meminta maaf untuk kekacauan itu. Juga untuk ketidakmampuannya melayani saya sepenuhnya. Saya berbalik minta maaf karena  datang pada waktu yang tidak bisa lebih buruk lagi: Mekha saat ini sedang terlibat kasus pengadilan.

Masalah Mekha bermula dari Indonesia. Setelah mendapat gelar sarjana dari Indonesia, sejak sepuluh tahun lalu dia sudah terdaftar sebagai guru di PNG. Tapi dia tak kunjung diangkat sebagai guru permanen.

Karena statusnya itu, setiap tahun dia harus pergi ke Port Moresby untuk memperbarui izin mengajar. Itu butuh biaya yang tak sedikit. Tiket pesawat pergi pulang, plus biaya hotel  selama seminggu, harus dibayar dengan gajinya yang minim karena  hanya guru sementara.

Dia juga harus    mengosongkan rumah yang ditempatinya  sesegera mungkin, kalau benar akan berangkat ke Indonesia lagi untuk melanjutkan studi. Mekha bukan warga asli Daru, dan rumah itu adalah fasilitas dari sekolah.

Semua masalah ini membuat Mekha memutuskan untuk menyeret sekolah dan dinas pendidikan ke pengadilan. Mekha menduga, segala kesulitan yang dialaminya adalah  karena dia lulusan Indonesia, dan ijazahnya tidak diakui di PNG. Mekha menuntut sekolah dan dinas pendidikan untuk mengembalikan semua biaya yang sudah dia keluarkan gara-gara ketidakjelasan statusnya, sebesar 40.000 kina (Rp 200 juta).

“Saya tak berjuang untuk diri saya sendiri, tapi juga demi nasib semua mahasiswa PNG yang belajar di Indonesia, katanya.

Sejak kelas 1 SD, Mekha sudah bermimpi tentang Indonesia, tersihir oleh alunan gamelan Bali yang didengarnya di radio.

Mekha pertama kali datang ke Indonesia tahun 1997.  Saat itu, seperti halnya kebanyakan orang PNG, ia juga dicekam ketakutan akan Indonesia. Dia mengira di seluruh Indonesia ada tentara bersenjata yang akan membunuhi orang berkulit hitam seperti dirinya. Tapi sesampainya di Jayapura, dia  menyadari Indonesia  bukanlah negeri seram yang dibayangkan. Orang Indonesia  sangat ramah, dan itu membuatnya betah tinggal di negara ini.

Salah satu sudut Daru, Western Province, Papua Niugini, Kompas 12 Juli 2012

Kekaguman utama Mekha terhadap Indonesia terutama adalah teknologi, pengetahuan, dan efisiensi. Dari Indonesia, Mekha belajar strategi bisnis, memanfaatkan segala aset demi meraih profit. Berkat ilmu  itu,  dia menanami sepetak tanah  di depan rumahnya dengan kubis, yang bisa dia jual ke tetangga seharga 10 kina (Rp 50.000) sebuah, tak bisa ditawar.

Indonesia telah mengubah hidup Mekha. Itu sebabnya, ia membuka kelas pelajaran bahasa Indonesia di sekolahnya, bagi semua siswa yang berminat. Dalam berbagai kesempatan, dia juga selalu memotivasi murid-muridnya: “Jangan hanya belajar dari Barat, tapi belajarlah juga dari Indonesia. Apa yang mereka punya, kita juga punya. Bedanya, mereka bisa mengolah kekayaan mereka, tapi kita tidak.” 

Masalah antara kedua negeri bertetangga ini adalah minimnya pengertian satu sama lain. Banyak orang PNG mengira Indonesia sebagai negara komunis militeristis, satu-satunya negara tetangga darat yang ditakuti karena sewaktu-waktu bisa menyerbu mereka. Sebaliknya, orang Indonesia juga banyak yang  sangat awam terhadap PNG.

Mekha mengenang, ketika berada di Bali, dia sering dihampiri orang Indonesia yang penasaran akan kulitnya yang hitam, dan menanyainya dari mana. Ketika  menyebut nama PNG, orang-orang Indonesia itu bertanya lagi, “Apakah itu di Afrika? Atau di Amerika?”

Kita memang tetangga terdekat, sekaligus yang terjauh.

  • Negara    : Papua New Guinea
  • Provinsi : Western Province
  • District  : South Fly District
  • LLG Daru Urban
  • Dibangun tahun 1884
  • Elevation 3 m (10 ft)
  • Penduduk  Total 15,142, sensus tahun 2011
  • Perhiungan waktu UTC+10 (AEST)
  • Iklim  Am
  • Lokasi 440 km dari Port Moresby dengan pesawat

Indonesia dari Seberang Batas 

Cerita ke 16

Pulau Ikan Kakap : PNG

Daru adalah pulau kecil berpenduduk 20.000 jiwa. Indah dan lengang, menarik untuk dijelajahi. 

Daru adalah the capital of the Western Province of Papua New Guinea , ibu kota Provinsi Barat Papua Nugini

Daru, pulau kecil ini dijuluki “ibukota ikan kakap”, karena terkenal dengan ikan kakap putih  yang melimpah. Konon panjang seekor ikan bisa  dua meter,  hingga harus dipanggul dua lelaki dewasa.

Saya membayangkan industri perikanan yang makmur. Tapi yang saya temukan adalah pasar ikan yang mengenaskan di daerah di sekitar pelabuhan.

Di pasar itu warga lokal PNG berdagang. Mereka menggelar tikar di jalan, di bawah terik matahari, mengipasi ikan dan udang dagangannya  hanya dengan telapak tangan agar tidak dikerubung lalat. Aroma amis menyelimuti udara.

Tata ruang Daru adalah the capital of the Western Province of Papua New Guinea , ibu kota Provinsi Barat Papua Nugini

Mereka mengelompok menurut daerah asal masing-masing. Nelayan dari Kepulauan Kiwai dan daerah muara Sungai Fly berdagang di daerah dermaga pelabuhan. Tidak jauh dari mereka, adalah tempat para nelayan dari daerah pesisir pulau besar, seperti Sigabaduru dan Mabudauan, yang menjual kakap dan lobster.

Suasana Pasar Ikan di Daru, Papua Nugini, Kompas 13 Juli 2012
Sedikit lebih jauh dari dermaga, adalah tempat para perempuan  Daru menjual pinang dan roti sagu berisi daging kura-kura. Mereka duduk  berjejer di seberang toko merah HE&GG Supermarket. Sedangkan para pedagang ikan dari hulu Sungai Fly berjejer di dekat lapangan di seberang New Century Supermarket.

Di Daru setidaknya ada enam supermarket, semuanya bisnis keluarga orang China, dan saling berdekatan di sekitar pelabuhan. Mereka menjual beras, makanan instan dan kalengan, bumbu masak, dan pakaian. Salah satu toko itu bahkan memperluas bisnis jadi hotel, dengan tarif jutaan rupiah per malam.

HE&G, salah satu supermarket di Daru, Papua Niugini

Supermarket HE&GG dikelola keluarga besar Yan yang berasal dari Provinsi Fujian. Hampir semua barang yang dijual adalah produk impor. Kasir dan pegawainya adalah warga lokal, sedangkan dua lelaki China duduk di atas kursi tinggi tepat di belakang kasir.

Dalam bahasa Mandarin, saya bertanya mengapa mereka duduk di sana. “Di negara ini terlalu banyak pencuri. Bukan hanya pembeli, kasir pun kalau tidak diawasi bisa mencuri,” jawab seorang lelaki muda

Mereka adalah CCTV versi manusia.

Dua pria China (kiri dan kanan) duduk di atas kursi yang tinggi untuk  mengawasi kasir dan pembeli.
Kedua lelaki itu sangat girang begitu mengetahui saya orang Tionghoa Indonesia yang berasal dari provinsi yang sama dengan mereka. Seorang dari mereka mengaku pernah tinggal dua tahun di Jakarta, berdagang di daerah Asemka di kawasan Kota Tua. “Jakarta itu jauh lebih modern dan aman. Tapi  persaingan terlalu kuat. Di PNG justru   jauh lebih gampang cari duit,” tuturnya

Dia sudah tiga tahun tinggal di Daru, tapi sama sekali tak pernah keluar dari bangunan toko ini. “Apa tidak bosan?” saya bertanya.

“Namanya orang merantau, yang penting sukses. Menderita  itu tak terhindarkan,” ucapnya.

Tepat di luar supermarket, ada seorang lelaki lokal bertelanjang dada dan bertelanjang kaki yang sepanjang hari menghabiskan waktu di sana. Dia tampaknya mengalami gangguan jiwa. Begitu melihat saya, dia langsung meraih tangan saya dan  menggenggamnya  erat. “I am also from China!” serunya. “Give me 2 kina!”

Salah satu Village di Daru.
Saya meronta, berteriak meminta tolong, sampai kerumunan orang di jalan membantu melepaskan saya. Belakangan saya tahu, lelaki ini adalah pecandu narkoba dan pernah dipenjara, lalu membunuh narapidana lain dalam penjara.

Saya sempat mengira, begitu  meninggalkan Port Moresby,  akan leluasa menjelajah PNG. Tapi ternyata tidak. Mekha Eho’o, tuan rumah saya, melarang keras saya berjalan sendirian di Daru, karena banyak raskol (penjahat) berkeliaran.

Ini sangat disayangkan, Daru adalah pulau kecil berpenduduk 20.000 jiwa. Indah dan lengang, menarik untuk dijelajahi. Di seluruh pulau ini tidak banyak mobil, jalan beraspal didominasi pejalan kaki.

Panjang pulau ini 5 kilometer, lebar 4 kilometer, bentuknya elips menyerupai anak ayam. Ujung utara merupakan daerah pelabuhan yang memasok penduduk Daru dengan segala barang kebutuhan. Lalu, jika menyusuri jalan utama Daru dari utara ke selatan, kita akan melintasi bandara yang melintang di tengah pulau, yang lebih mirip lapangan sepak bola dikelilingi pagar kawat.

Jika berjalan terus ke selatan, menuju daerah yang dijuluki “anus Daru”. Di sinilah tempat pembuangan sampah dari seluruh pulau. Juga ada pelabuhan tua yang sudah mati, dipenuhi rongsokan kapal. Di sekitarnya adalah daerah corner, permukiman kumuh yang dihuni para pendatang.

Daru hanya sekitar 250 kilometer dari perbatasan Indonesia, tapi di sini tak ada pedagang Indonesia. Sebenarnya, beberapa tahun lalu di Daru pernah ada satu toko Indonesia, bernama TowooIndo. Toko itu menjual baju batik, celana, dan makanan produksi Indonesia. Tapi tampaknya mereka salah pilih lokasi, yaitu di “anus Daru”, yang warga pun malas pergi karena terlalu berbahaya.

Toko Indonesia itu juga berbisnis tanpa rekanan lokal, sehingga sering menjadi target perampokan dan pencurian. Toko Indonesia itu tidak bertahan lama.

Indonesia dari Seberang Batas 

Cerita ke 17

WANTOK : Sistem Sosial Melanesia PNG

Wantokisme adalah sistem sosial yang berlaku di masyarakat Melanesia di Papua Niugini.

Mengamati perekonomian di Daru, muncul sebersit pertanyaan. Mengapa   orang China yang tak sampai sepuluh tahun merintis bisnis di daerah itu, sudah bisa menguasai roda ekonomi, sedangkan para penduduk lokal masih berdagang dengan cara nenek moyang mereka ratusan tahun lalu?

Warga lokal berjalan bersama warga asing di Daru, Papua Niugini.

Mengamati perekonomian di Daru, muncul sebersit pertanyaan. Mengapa   orang China yang tak sampai sepuluh tahun merintis bisnis di daerah itu, sudah bisa menguasai roda ekonomi, sedangkan para penduduk lokal masih berdagang dengan cara nenek moyang mereka ratusan tahun lalu?

Mekha Eho’o, guru di Daru High School yang juga tuan rumah saya, menjelaskan bahwa keunikan bangsa Melanesia adalah mereka bisa hidup tanpa uang.

Dunia Barat adalah dunia kapitalisme yang mengejar kebahagiaan materialistis, sedangkan dunia Melanesia adalah sistem wantok yang meyakini kebahagiaan ada pada hubungan manusia,” jelas Mekha.

Wantok dalam bahasa Tok Pisin berasal dari kata bahasa Inggris, one talk, “satu bahasa”. Secara harfiah ini berarti orang-orang  bicara dalam satu bahasa yang sama.

PNG adalah negara dengan keberagaman bahasa tertinggi di dunia. Di separuh Pulau Papua ini saja terdapat 840 bahasa. Saking banyaknya bahasa, dua desa yang berjarak lima kilometer bisa  menggunakan bahasa yang  berbeda.

Karena itu, kesamaan bahasa menjadi sangat penting. Di tengah masyarakat yang konsep kesukuannya masih  kuat, kesamaan bahasa itu berarti kesamaan suku dan daerah asal.

Suasana salah satu sudut Daru, Papua Niugini. Sistem  wantok membuat warga Daru bisa hidup tanpa uang.

Namun  di kota-kota besar, orang PNG dari berbagai latar suku dan bahasa hidup bersama. Konsep wantok pun meluas, bukan semata orang yang bicara dengan bahasa asli yang sama, tapi juga bisa diartikan sebagai teman baik, tetangga, rekan seperjuangan, saudara setanah air, ataupun segala macam ikatan sosial kuat lainnya.

“Dalam sistem wantok, kau melindungi para wantok-mu tanpa meminta bayaran atau balasan apa pun,” jelas Mekha. “Sesama wantok dituntut untuk saling membantu dan melindungi.”

Wantokisme adalah sistem sosial yang universal di kalangan masyarakat Melanesia di PNG. Namun,  wantok bukan hanya monopoli orang PNG. Gagasan tentang wantok juga ada dalam budaya Indonesia. Ketika saya datang ke PNG, duta besar Indonesia yang orang Batak menerima saya seperti anggota keluarga, itu karena kami adalah wantok sesama orang Indonesia. Demikian juga orang-orang Tiongkok pemilik supermarket di Daru yang   langsung akrab dengan saya, bahkan sering memberi saya mi instan gratis, semata-mata karena leluhur saya berasal dari provinsi yang sama dengannya.

Bagi Mekha, wantok adalah cara hidup ideal bagi orang Melanesia. “Semua masalah  bisa diselesaikan ketika semua yang bertikai duduk bersama sebagai wantok,” jelasnya.

Warga lokal berjalan bersama warga asing di Daru, Papua Nuigini,Kompas 14 Juli 2012

Wantok bisa dianggap sebagai jaringan jaminan sosial tradisional.

Orang PNG, terutama yang tinggal di pedalaman, memang bisa hidup tanpa  uang, karena mereka hidup dalam suku-suku yang punya tanah adat. Mereka punya tanah untuk berladang, sungai atau laut untuk mencari ikan, dan hutan untuk berburu. Ketika anggota suku pergi berburu, hasilnya bukan untuk dimakan sendiri, tapi untuk dibagikan untuk orang-orang sesuku yang tidak ikut berburu.

Inilah sistem wantok dalam wujud aslinya. Wantok bisa dianggap sebagai jaringan jaminan sosial tradisional.

Mekha bercerita, pernah ada seorang teman Indonesia yang bertanya, kenapa selama lima tahun di PNG, dia tidak melihat ada pembangunan apa-apa. Mekha menjawabnya, “Kami bukan bangsa yang materialistis.  Bagi kami yang lebih penting adalah membangun hubungan antar-manusia.”

Mekha menyebut wantok adalah investasi bagi orang PNG. “Kalau kamu punya rezeki, kamu bagikan pada wantok-mu, maka suatu hari nanti ketika kamu butuh bantuan, kamu tinggal minta tolong pada wantok-mu itu. Bukankah itu juga logika dari tabungan, investasi, dan asuransi di Barat sana? Bedanya, kami tidak menghitung untung-rugi seperti di Barat,” ucapnya.

Kebiasaan menabung di  masyarakat PNG sangat rendah. Banyak orang yang begitu mendapatkan gaji, langsung habis hari itu juga. Sebagian besar uang itu  dibagikan kepada para wantok, para anggota keluarga besar yang tidak bekerja.

Demikian pula ketika mereka berdagang, selalu ada wantok yang datang ke toko mereka untuk minta ini dan itu. Sistem wantok tidak memungkinkan mereka meminta bayaran pada anggota wantok yang mengambil barang dari toko mereka.

Efek lebih buruk dari sistem ini adalah nepotisme. Bos biasa merekrut anak buah yang berasal dari kaumnya sendiri, para wantok-nya sendiri, tidak peduli apakah mereka kompeten atau tidak. Korupsi yang parah juga disebabkan kaum elite harus membayar utang budi kepada para wantok-nya.

Bagaimanapun juga, Mekha menganggap wantok adalah identitas PNG yang harus  dilestarikan. Dia menyayangkan pemerintah PNG mengirimkan para pelajar terbaik negeri ini untuk studi di Australia, yang mengagungkan individualisme dan materialisme.

Sebaliknya, Mekha menemukan titik keseimbangan itu di Indonesia. Orang Indonesia, di matanya, tidak sepenuhnya materialistis, juga tidak membabi-buta membela wantok.

“Wantok tetap penting, tetap harus dibantu. Tapi mereka bukan yang nomor satu. Prioritas utama saya sekarang adalah anak saya sendiri. Merekalah investasi saya yang utama untuk masa depan,” katanya.

Indonesia dari Seberang Batas 

Cerita ke 18

Mengapa Harus Ada Batas : Ekonomi, keamanan, Sosial, Geopolitik PNG

Perbatasan bukan hanya tentang sekat yang memisahkan, tapi juga tentang kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik.

Selama saya berada di Daru, Mekha berpesan agar jangan berbicara bahasa Indonesia di tempat umum. Juga tidak mengumbar identitas keindonesiaan saya. Dia menganjurkan saya menyebut diri sebagai orang Cina atau Filipina.

Daru pernah menjadi tempat tinggal ribuan pengungsi “West Papua” dari sisi Indonesia, dan banyak dari para pengungsi itu adalah pendukung gerakan Papua merdeka. Beberapa tahun lalu, pemerintah PNG bekerja sama dengan Indonesia memulangkan hampir semua pengungsi itu dari Daru ke Indonesia. Konon terjadi tangisan massal ketika penduduk Daru melepas kepergian para saudara Melanesia mereka.

Siswa Daru High School, Daru, Papua Niugini  di halaman sekolah mereka, Kompas 15 Juli 2021 

“Orang di sini merasa punya koneksi Melanesia dengan orang-orang Papua di seberang perbatasan sana, karena kami adalah wantok,” jelas Mekha.

Itu berhubungan dengan buruknya impresi tentang Indonesia di negara ini. Banyak orang PNG mengira Indonesia adalah negara komunis, penuh kekerasan militer. Banyak pula yang takut karena perbedaan agama. Pendek kata, Indonesia identik dengan ancaman.

Seorang guru bahasa Inggris di Daru High School bertanya kepada saya, untuk memastikan rumor yang dia dengar, bahwa “orang putih” Indonesia membutuhkan tengkorak manusia untuk membangun gedung tinggi dan jembatan. Tahun lalu, dia bilang, di Daru beredar kabar bahwa orang Indonesia banyak menyelinap ke PNG untuk membunuhi warga setempat, untuk diambil kepalanya buat membangun rumah dan jembatan di Merauke sana.

Saya syok. “Dan Anda percaya?”

“Semua orang heboh. Kami sampai tak berani keluar rumah, takut dibunuh orang Indonesia,” katanya. “Bahkan orangtua di sini sampai menakuti anak yang bandel agar tak keluar malam dengan mengatakan, ‘Awas, nanti ada Indonesia!’”

Berbagai cerita buruk tentang Indonesia yang beredar di Daru membuat saya sedikit bimbang untuk memenuhi undangan Mekha dan guru lainnya untuk berbicara di depan para siswa kelas XI di sekolah mereka. Topik yang diminta pun cukup sensitif: perbatasan.

Suasana kelas di Daru High School, Daru, Papua Niugini
Siang hari itu, di ruangan aula besar yang dipenuhi sekitar 200 siswa, saya berdiri sendirian di hadapan mereka sebagai seorang Indonesia. Pertama-tama saya menggambar peta Pulau Papua di papan tulis, lengkap dengan garis batas lurus di tengah yang membelahnya menjadi dua negeri. Saya juga menggambar pulau-pulau Indonesia lainnya.

“Siapa yang tahu gunanya garis batas?” saya bertanya.

Senyap.

Para guru sibuk memotivasi para siswa untuk bicara. “Jangan sia-siakan kesempatan ini,” mereka bilang. “Ini ada orang dari seberang batas sana bicara tentang perbatasan.”

Seorang siswa lelaki mengacungkan tangan, dan berkata, “Kami tidak mau perbatasan. Kami mau perbatasan dihapus.”

“Kenapa?” tanya saya.

“Karena garis batas membuat kita tidak bisa saling mengenal.”

Siswa itu berasal dari Distrik Morehead, di ujung barat Western Province yang berbatasan langsung dengan Merauke. Dia juga pernah ke Merauke untuk belanja. Ternyata cukup banyak siswa di sekolah ini yang berasal dari daerah perbatasan, sehingga tidak terlalu asing dengan Merauke, bahkan mereka bisa sedikit bahasa Indonesia.

Saat ini, perbatasan RI-PNG yang sepanjang 770 kilometer itu hanya dibuka di utara pulau, yaitu di Wutung dekat Jayapura. Di bagian selatan pulau, tak ada perbatasan internasional yang dibuka, kecuali bagi penduduk desa sekitar perbatasan.

Tapi ada pula sejumlah siswa yang tidak setuju perbatasan dibuka. Mereka khawatir perdagangan ilegal, narkotika, kriminal, dan pembunuhan.

“Perbatasan,” kata saya, “membutuhkan keuntungan bagi kedua pihak, juga kerugian yang minimal.”

Mr. Jamie Namorong, seorang guru, menangkis, “Masalah terbesar kami hanyalah akses. Dari sini ke Port Moresby sangat jauh, tapi ke Indonesia sangat dekat. Kami mau ada pelabuhan, supaya Indonesia bisa beli tapioka dan ikan dari kami. Kami juga bisa jual nanas, ketela, kakap, daging rusa. Saya tahu di Merauke permintaannya besar sekali, dan barang dari kami bisa bantu turunkan harga di sana.”

Kelas yang semula sunyi kini menjadi meriah. Para siswa tak henti-hentinya mengacungkan tangan.

“Kami mau bisnis di Jakarta dan Jayapura.”

“Sekolah…”

“Rumah sakit…

“Pasar…”

Diskusi yang meriah, dan memberi banyak perspektif baru. Perbatasan ini ternyata bukan hanya tentang sekat yang memisahkan, yang membuat orang-orang hidup dalam ketidaktahuan dan kecurigaan. 

Perbatasan ini juga tentang kepentingan ekonomi, keamanan, politik, dan geopolitik.

Keluar dari ruang aula ini, kepala saya  terasa  berat. Sedikit terhuyung-huyung, saya berjalan menuju kantin sekolah, mencari minuman.

Begitu girang saya menemukan di ruangan sempit itu berjejer sederet susu kotak bermerek Indomilk dengan ukuran  kecil. “Indomilk? Indomilk Indonesia? saya antusias bertanya kepada penjaga kantin.

Pemuda itu menggeleng lemah. “Sorry. Tidak ada Indomilk Indonesia. Kami hanya ada Indomilk cokelat.

Indonesia dari Seberang Batas 

Cerita ke 19

Impian Menuju Garis Batas : PNG - Australia ternyata Dekat.  

“Tahukah kamu, Australia hanya tiga kilometer jauhnya dari PNG? Dari pantai PNG, kamu bahkan bisa melihat Australia!” kata seorang ekspatriat Australia pada hari pertama saya mendarat PNG.

Antara Merauke,Indonesia - Daru PNG, dan Australia 

Saya semula tidak percaya. Di atas peta, PNG sangat jauh dari Australia. Tapi kalau dilihat lebih teliti, tepat di selatan pesisir Western Province memang ada pulau-pulau kecil milik Australia, seperti pulau Saibai dan Boigu, yang hanya sejengkal saja jauhnya dari PNG.

Saibai dan Boigu  sebenarnya juga sangat dekat dari daerah perbatasan Indonesia.


Saat saya  di Port Moresby, kebetulan ada  Pertemuan Perbatasan Tahunan RI-PNG. Saya bertemu dengan para pejabat sejumlah distrik di Provinsi Papua yang berada di sepanjang perbatasan. Saya mendengar lebih banyak lagi cerita  tentang daerah perbatasan ini. Ada daerah yang masuk wilayah Indonesia tapi penduduknya orang PNG. Ada garis batas yang membelah pertambangan, bahkan membelah bandara. Ada ribuan pengungsi dari Indonesia yang masih tinggal di PNG. Dan masih banyak lagi.

Mendengar kisah-kisah itu, saya  ingin menyusuri garis perbatasan ini dari kedua sisi, untuk mengumpulkan ceritanya dan memahami maknanya.

Pemandangan di Daru
Di sisi PNG, ada dua provinsi sepanjang garis batas ini. Yang di utara adalah Provinsi Sandaun, beribukota di Vanimo, sedangkan yang di selatan adalah Western Province, beribukota di Daru. Nama “Sandaun” berasal dari kata bahasa Inggris, sun down, berarti tempat terbenamnya matahari, yaitu barat. Sejatinya, kedua provinsi ini sama-sama bernama “Barat”.

Sepanjang garis panjang itu, perbatasan internasional hanya dibuka di ujung utara, Wutung, yang terletak antara Vanimo dan Jayapura. Itu artinya, kalau saya ingin menyusuri garis itu, saya harus berangkat dari Western Province di selatan, lalu pelan-pelan bergerak ke utara hingga sampai ke Vanimo, lalu menyeberang perbatasan masuk ke Jayapura, dan turun lagi sampai ke Merauke.

Apakah perjalanan itu mungkin? Saya juga tak tahu pasti. Yang saya tahu, saya harus terbang ke Daru. Semua setelah itu, pikirkan saja nanti.

Saya datang ke Western Province benar-benar bermodal nekat.  Di peta, provinsi terluas PNG ini seperti ruang kosong. Tak ada jalan, tak ada keterangan, malah kebanyakan adalah rawa. Tak ada pula buku ataupun informasi praktis yang bisa saya dapatkan.

Tapi saya percaya, terkadang jalan akan terbuka bagi kita tanpa disengaja.

Saat saya menumpang pesawat dari Port Moresby ke Daru, kebetulan penumpang di samping adalah perempuan Asia yang ramah dan riang. Dia bercerita sudah dua tahun  bekerja di LSM internasional di Daru. Perempuan yang berasal dari Filipina itu kemudian mengundang saya ke kantornya, World Vision Internasional, yang terletak di jalan utama Daru.

Di kantor ini, saya bertemu dengan koleganya, seorang perempuan lokal berusia lima atau enam puluhan tahun. Dia ternyata bidan yang terkenal di seluruh provinsi. Sila Wainetti, akrab dipanggil “dokter Sila”.

Mendengar rencana saya menjelajah perbatasan, Sila langsung antusias. “Putri angkatku bisa bahasa Indonesia,” katanya. “Dia tinggal di daerah pesisir perbatasan, dan saat ini kebetulan sedang ada di Daru. Mungkin dia bisa bantu kamu.”

Sisi Wainetti
Kesan pertama saya tentang Sisi Wainetti, anak dokter Sila, sebenarnya sangat tidak meyakinkan. Perempuan 35 tahun itu memakai kaos militer setrip-setrip yang longgar, berbibir tebal dan gigi kemerahan dengan cairan bekas pinang yang masih basah. Rambut rasta-nya diikat ke belakang. Langkah kakinya petantang-petenteng megal-megol, dengan sandal jepit yang sudah usang.

Bahasa Indonesianya lumayan lancar, tapi saya tidak terlalu mengerti karena ada logat daerah yang sangat kental. Sisi mengaku pernah tinggal dua tahun di Merauke. Dia sendiri berasal dari Distrik Morehead, bagian Western Province yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Desa asalnya berjarak hanya sekitar 100 kilometer dari perbatasan Indonesia, dan 30 kilometer dari Australia.

Saya bertanya tentang Merauke. Walaupun saya orang Indonesia, saya belum pernah ke sana.

“Di sana semua orang putih,” kata Sisi sambil tersenyum  dan menempelkan telunjuknya di lengan saya. Yang dimaksudnya adalah orang Asia, yang berkulit lebih putih daripada orang Melanesia.

Suasana di salah satu wilayah Kota Daru

Sisi kemudian menggambarkan untuk saya desa-desa sepanjang pesisir PNG menuju daerah perbatasan. Satu-satunya cara ke sana adalah naik perahu motor.

Saya bertanya apakah dia bisa bantu. Saya ingin pergi sedekat mungkin ke garis perbatasan itu.

“Sisi sering bantu orang Indonesia. Kamu mau berangkat kapan? Sisi bantu.”

Kami sepakat pada harga 200 kina berangkat, 200 kina pulang. Itu sekitar Rp2 juta. Katanya, itu harga normal penumpang.

Malam harinya, Sisi menelepon saya, menanyakan apakah mungkin jika saya membayar 500 kina total untuk perjalanan ini.

Saya mulai meragukan kejujurannya.   Saya meminta maaf kepadanya. Biaya ini sudah terlalu besar buat saya, lebih baik saya tidak jadi berangkat.

Indonesia dari Seberang Batas 

Cerita ke 20

Nenek Moyangku Pelaut : PNG - Australia ternyata Dekat.  

Hujan deras mengguyur Daru sejak semalam. Sabtu pagi ini pun petir masih menyambar-nyambar. Dengan cuaca seburuk ini, saya rasa rencana naik perahu motor menuju perbatasan Indonesia bersama Sisi Wainetti batal.

Pelabuhan Daru, Western Province, PNG

Tiba-tiba saya menerima SMS dari Sisi, meminta saya bergegas ke pelabuhan karena akan berangkat. Saya cukup membayarnya dengan harga yang sudah kami sepakati semula, di daerah pasar di Daru, dekat tempat berlabuhnya kano dan perahu dari daerah pesisir pulau besar Papua. Dia menunjuk perahu yang akan kami tumpangi, bermesin 40 PK (daya kuda) yang dibeli di Merauke.

Operator mesin, lelaki 30 tahunan bernama Issaiah, bersama ayahnya, Keikei, dan pemuda kekar bernama Mark sudah di perahu. Masih ada teman perempuan Sisi yang bernama Marcella. Kami akan ke arah barat, mendekati garis batas RI-PNG.

Pantai di Daru, PNG

Saya takut. Saya tidak terlalu kenal dengan orang-orang ini dan sekarang saya sendirian dalam perahu mereka, menyerahkan sepenuhnya nasib saya kepada mereka. Saya dengar, daerah tempat tinggal Sisi itu sangat berbahaya. Sebelumnya, kabarnya, ada pedagang ilegal dari Indonesia yang dibunuh di tempat itu oleh warga lokal dan kasusnya masih misterius. Tentu, orang-orang ini bisa melakukan apa pun kepada saya kalau mereka mau dan saya tak punya kuasa apa-apa.

Sisi mengeluarkan selembar kertas folio dengan surat tulisan tangan. Surat itu ditulis presiden Distrik Morehead (setingkat bupati), yang Sisi bilang adalah pacarnya, di Daru. Surat itu menerangkan bahwa saya adalah guru dari Daru High School yang hendak pergi jalan-jalan ke daerah Morehead. ”Dengan surat ini, kamu aman,” kata Sisi.

Nenek Moyang Pelaut orang PNG
Sisi juga berpesan, jika ditanya penduduk lokal, saya harus mengatakan, saya adalah orang Filipina pegawai supermarket China di Daru.

Sudah pukul sepuluh pagi. Langit masih gelap tertutup mendung pekat.

”Apakah ini bakal jadi perjalanan berat?” Saya bertanya kepada Issaiah.

”Tenang saja, percayakan kepada saya,” jawabnya.

Saya dan Sisi memakai pelampung. Hanya ada dua pelampung di perahu ini. Berangkat bersama kami, masih ada satu perahu motor lain, dengan tujuan sama dan juga berisi enam penumpang.

Di PNG, karena ketiadaan transportasi publik, orang biasa berpatungan untuk bepergian, dengan masing-masing membayar jatah bahan bakar yang dibutuhkan untuk perjalanan. Uang yang saya bayarkan itu cukup untuk membeli 30 liter bensin.

Saya, Sisi, Marcella duduk berimpitan, berhadapan dengan Issaiah yang mengendalikan mesin dan Mark yang membantunya. Barang-barang kami ada di bagian depan perahu, dibungkus terpal.

Meninggalkan pelabuhan Daru, perahu kami langsung disambut gelombang keras. ”Aku tak pernah lihat gelombang sebesar ini,” kata Sisi.

”Ini memang keras, tapi aku pernah mengalami yang lebih hebat dari ini,” sahut Marcella.

”Ini tidak ada apa-apanya,” Issaiah, yang sekampung dengan Sisi, berteriak kepada kami karena suaranya ditelan gemuruh mesin.

Dia tampak sangat menikmati mengendalikan mesin perahu sehingga perahu kami terus meliuk berzig-zag di antara ombak. Betapa hebat nenek moyang mereka.

Cukup malu saya. Ini sungguh pengalaman pertama saya naik perahu. Saya tidak pernah bersinggungan dengan laut sedekat, selama, dan seintens ini.

Betapa terputusnya saya dari lautan, yang seharusnya menjadi roh kehidupan Tanah Air saya Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia.

Pengalaman melaut pertama saya justru terjadi di PNG.

Perahu dihantam Ombak besar
Marcella dan saya meringkuk, berpelukan erat. ”Jesus! Jesus!” Sisi berteriak sekencang-kencangnya, seolah teriakan itu akan mendatangkan kuasa keajaiban dari langit untuk menyelamatkan kami. Perahu motor yang kami tumpangi terombang-ambing amukan ombak. Perahu sepertinya akan terbalik.

Marcela dan saya menimpali Sisi dengan teriakan yang sama kerasnya. Perahu motor mengentak, semua penumpang terloncat dari duduknya. Pantat saya menghantam bilah kayu yang menjadi alas duduk, punggung saya seperti ditinju bertubi-tubi dan sakitnya merambat sampai ke tengkuk.

Satu gulungan ombak yang lebih tinggi daripada manusia dewasa menerjang ke arah perahu kami. Sisi berteriak, ”Issaiah, cepat lakukan sesuatu! Kita akan tenggelam!”.  Terlambat.

Ombak itu menghantam kami, menampar wajah kami semua, penumpang di atas perahu kecil dan sesak ini. Air sudah setinggi mata kaki di dasar perahu. Kami basah kuyup sekujur tubuh. Kami buru-buru mengambil gelas plastik, timba karet dan spons untuk membuang air keluar perahu. Saya memeluk erat kamera yang sudah dibungkus plastik di balik jaket saya.

Satu gelombang besar lagi menghantam perahu kami. ”Oh, Jesus!” Sisi berteriak lagi.

Cerita yang menarik, masih berlanjut.

Tunggu lanjutan cerita berikutnya.




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Indonesia dari Seberang Batas, Guru di PNG - Nenek Moyangku Pelaut, PNG Australia Ternyata Dekat"

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan teman teman, semoga artikel bermanfaat dan silahkan tinggalkan pesan, kesan ataupun komentar.

Popular Posts