INDONESIA DARI SEBERANG BATAS Tetangga yang Asing

Seri Cerita

Berikut adalah cerita perjalanan dari penulis di Kompas Agustinus Wibowo yang menurut saya sangat bagus dalam tata kalimat dan tutur penyampaian cerita.

Saya sengaja menuliskan di Blog supaya saya bisa belajar bagaimana menulis perjalanan yang baik dan berkesan ingin melanjutkan ke cerita berikutnya bagi para pembacanya.


INDONESIA DARI SEBERANG BATAS
Tetangga yang Asing 
Cerita 1, 21 Juni 2021

Melihat peta Indonesia, sejak kecil Agustinus Wibowo sering bertanya: Mengapa negara kita harus berakhir dengan sebuah garis? Jadilah bagian dari perjalanannya dalam ”Indonesia dari Seberang Batas”.

Pengantar Redaksi

”Keberagaman Indonesia yang tecermin lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika hendaknya diatur dalam suatu kebersamaan karena itu merupakan realitas Indonesia. Mengenal diri adalah hal yang mutlak perlu.” Demikian disampaikan salah satu pendiri ”Kompas”, Jakob Oetama, pada 2005.

Sebagai salah satu upaya untuk terus mengenal diri, setiap Senin sampai Jumat,  Kompas.id memuat serial perjalanan Agustinus Wibowo. Inilah edisi perdana seri tulisan tersebut.

Melihat peta Indonesia, sejak kecil saya sering bertanya: Mengapa negara kita harus berakhir dengan sebuah garis?

Garis itu membentang di tepian kanan peta negara, pada 141 derajat Bujur Timur, lurus lempeng dari utara ke selatan seperti digambar dengan penggaris. Siapa yang menggambarnya? Sejak kapan dia ada?

Pada ruang sempit tersisa antara garis itu dan bingkai peta, terkadang tertera tulisan ”PAPUA NIUGINI”. Tapi lebih sering tak ada tulisan apa-apa sehingga banyak orang Indonesia mengira Pulau Papua benar berakhir pada garis itu. Seorang kawan pernah bertanya, Papua Niugini itu masuk Provinsi Papua ataukah Papua Barat?

Papua Niugini atau PNG adalah tetangga istimewa. Namanya jarang disebut dalam berita kita. Dia hampir tak pernah jadi bagian percakapan kita. Padahal, PNG berbatasan langsung dengan Indonesia sepanjang 770 kilometer. Dia begitu dekat, sekaligus begitu asing, bagaikan tetangga di apartemen yang tak pernah bertegur sapa.

Keasingan itu membuat saya selalu mendamba mengunjunginya. Namun, walau negara tetangga, tak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Port Moresby, ibu kota PNG. Cara termudah ke sana ialah lewat Australia.

Kesempatan itu datang tanpa terduga. Agustus 2014, saya mendapat undangan menjadi pembicara dalam sebuah festival sastra di Australia. Daripada jauh-jauh ke Australia hanya untuk bicara dua hari di festival, saya meminta panitia mengalihkan tiket pulang saya ke Port Moresby. Dan mereka setuju.

Begitulah takdir antara saya dan PNG bermula.

Papua Indonesia dan PNG dari Google Earth 

INDONESIA DARI SEBERANG BATAS

Separuh Pulau 
Cerita 2, 22 Juni 2021

Pulau terbesar kedua di dunia ini mempunyai banyak nama. Indonesia menyebutnya “Pulau Papua”, di dunia internasional disebut New Guinea (Niugini). Ikuti perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas”.

Dari angkasa, barisan perbukitan hijau mendominasi Port Moresby, seperti gulung-gemulung ombak yang berlomba mencapai pantai. Di selanya, permukiman penduduk bertebaran bagai hamparan noktah yang tiada akhir. Di selatan, samudra biru kristal mengelilingi tanjung kecil dan pelabuhan. Begitu tenang, begitu damai, Samudra Pasifik di sini memang tak mengingkari makna namanya: Lautan Teduh.

Berangkat dari Cairns, Australia, pesawat kecil Qantas Airways yang saya tumpangi hanya setengah penuh. Setelah pesawat menyentuh Bandara Internasional Jackson, para penumpang berjalan kaki melintasi tarmak menuju gedung yang berhias ukiran cenderawasih raksasa.

Sama seperti Papua di sisi Indonesia, Papua Niugini (PNG) juga membanggakan cenderawasih. Di mana-mana saya melihat cenderawasih: di dinding bandara, di badan pesawat Air Niugini, juga di bendera nasional mereka.

Balairung imigrasi bandara adalah ruangan kecil dengan hanya empat konter, yang untuk sebagian besar waktunya kosong tanpa petugas. Para petugas baru bermunculan dengan langkah santai setelah dua puluhan penumpang dari pesawat kami sudah gelisah mengantre di depan konter. Setelah negosiasi cukup panjang, saya berhasil mendapatkan visa untuk 60 hari, gratis. Pada stiker visa yang tertempel di paspor, juga tergambar burung cenderawasih.

Saya mengambil ransel dari pita bagasi yang lengang tepat di belakang konter imigrasi, dan melangkah melewati tulisan besar di dinding: “SELAMAT DATANG DI PAPUA NIUGINI”.

Port Moresby, Ibukota PNG, Google earth

“Kalau kau bisa percaya, saya akhirnya tiba di Niugini,” tulis pemuda Michael Rockefeller, putra mantan Wakil Presiden Amerika Serikat  Nelson Rockefeller, dalam suratnya pada tahun 1961. Saat itu dia baru tiba di Biak, hendak mengawali ekspedisi ke pedalaman Asmat yang eksotik. Dia kemudian menghilang, kemungkinan besar dibunuh penduduk setempat.

Wilayah yang disebutnya Niugini itu sekarang adalah bagian Papua Indonesia.

Jadi, mana yang benar, Papua ataukah Niugini?

Pulau terbesar kedua di dunia ini memang punya banyak nama, dan terkadang membingungkan. Kita di Indonesia menyebutnya “Pulau Papua”, tetapi nama yang lebih lazim di dunia internasional adalah New Guinea (Niugini).

Nama “Papua”, menurut penjelasan yang paling umum, berasal dari bahasa Melayu Kuno yang berarti rambut keriting, merujuk pada bentuk rambut penduduknya. Sedangkan Niugini atau “Guinea Baru” adalah dari penjelajah Spanyol, Yñigo Ortiz de Retez, yang singgah di pulau ini tahun 1545, dan terkejut menemukan penduduk asli berkulit sangat hitam seperti warga Guinea di Afrika Barat. Kedua nama itu melebur dalam nama Papua Niugini.

Kedua nama itu melebur dalam nama Papua Niugini.

Belahan timur pulau itu semula terdiri atas dua daerah jajahan terpisah. Di selatan adalah “Papua” yang merupakan koloni Inggris, sedangkan di utara adalah “Niugini” yang di bawah kendali Jerman. Tahun 1920 Australia memegang kontrol atas Niugini Jerman, dan tahun 1949 seluruh wilayah di sebelah timur belahan pulau itu disatukan dengan nama “Teritori Papua dan Niugini”. Kata “dan” dihapus pada 1971, menjadi “Papua Niugini”. Tahun 1975 wilayah itu merdeka sebagai satu negara.

Sementara belahan barat pulau, “Papua”-nya Indonesia, semula pada masa pendudukan Belanda dikenal sebagai Nederlands-Nieuw-Guinea (“Niugini Belanda”).

Presiden Soekarno yang memimpin perjuangan merebut Papua dari Belanda, selalu menyebutnya “Irian Barat”. Nama “Irian” pertama kali dicetuskan Frans Kaisiepo (yang wajahnya menghiasi uang Rp 10.000) pada 1946, dari bahasa Biak yang berarti “sinar yang menghalau kabut”. Nama itu juga bisa diartikan singkatan “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.

Dengan gelora semangat nasionalisme saat itu, penyebutan “Papua” dan “Niugini” sangat dihindari karena dianggap nama warisan penjajah. Belahan timur pulau, yang sekarang negara PNG, pada masa itu di Indonesia disebut sebagai “Irian Timur”—istilah ini sama sekali tidak dikenal di PNG sendiri.

Pada masa Soeharto, “Irian Barat” berganti menjadi “Irian Jaya”, sedangkan “Papua” menjadi nama tabu karena identik dengan gerakan Papua merdeka. Barulah pada 1 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan kembali penggunaan “Papua” menggantikan “Irian Jaya”.

Kini, ketika orang Indonesia menyebut “Papua”, maknanya bisa bermacam-macam. Itu bisa berarti Provinsi Papua. Atau kedua provinsi Papua dan Papua Barat. Bisa pula keseluruhan pulau yang termasuk PNG.

Sementara di PNG, yang dimaksud dengan “Papua” adalah separuh bagian selatan negara mereka. Sedangkan belahan barat pulau yang berada di bawah Indonesia mereka sebut West Papua, “Papua Barat”.

Karena itu, ketika kita mendengar nama Papua, kita harus memastikan betul, siapa yang menyebutnya, dan Papua manakah yang dimaksud.

Baca selanjutnya............

AROMA BAHAYA






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "INDONESIA DARI SEBERANG BATAS Tetangga yang Asing "

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan teman teman, semoga artikel bermanfaat dan silahkan tinggalkan pesan, kesan ataupun komentar.

Popular Posts